PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUH
Dosen
Pengampu
Prof.
Dr. Khairunnas Rajab, M.Ag
Oleh :
MADAYANSYAH
TAMBUNAN
NIM :
21491106341
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
PEKANBARU
2015 M/1436 H
PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUH
A.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada
zaman modern juga dianggap sebagai arsitek modernis Islam. Dialah penganjur
yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan
tuntutan zaman modern. Walaupun pada saat itu dia diserang oleh oranng- orang
yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum
muslimin.[1]
Dia yakin bahwa
apabila al-Ahar diperbaiki , kondisi kaum Muslimin akan membaik,
Menurutnya, apabila al-Azhar diperbaiki, pembenahan administrasi dan
pendidikan di dalamnya pun harus dibenahi, kurikulumnya diperluas, mencakup
sebagian ilmu-ilmu modern, sehingga al-Azhardapat berdiri sejajar dengan
universitas-universitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi
kaum Muslim pada zaman modern. Menurutnya, ada dua pilihan untuk al-Azhar
: maju atau hancur sama sekali. Namun, pada waktu itu dia gagal meyakinkan
pemuka al-Azhar dan tokoh-tokoh lainnya untuk melakukan perbaikan
terhadap al-Azhar. Lalu dia berusaha memperoleh dukungan al-Khudaywi
untuk merestui rencananya. Namun dia gagal juga. Ketika Abbas Hilmi naik
kepentas kekuasaan, dia mengeluarkan keputusan untuk membentuk sebuah panitia
yang mengatur al-Azhar.
Muhammad Abduh
lahir pada tahun 1849 M/ 1265 H disebuah desa Mahallat Nashr, di Provinsi Gharbiyyah Mesir
Hilir. Ayahnya bernama Hasan
Khairullah. Abduh lahir dillingkungan keluarga petani yang hidup sederhana,
taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr.[2] Ayahnya bukan
seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya
keturunan Arab yang silsilah sampai kepada Umar ibnu Khathab.
Mereka tinggal dan menetap di Mahallat Nasr.Muhammad Abduh
dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa
keagamaan yang teguh.[3]
Sebagaimana pada umumnya keluarga Islam,
Pendidikn agama pertama didapat dari lingkungan keluarga. Adalah sang ayah,
Abduh Khairallah, yang pertama menyentuh Abduh di arena pendidikan. Ayahnya
mengajarkan baca tulis, dan menghafal Al-Quran. Allah memberikan kecerdasan
kepada Abduh. Ini terbukti dalam tempo kurang dalam jangka
12 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat Al-Qur’an. Kemudian pada usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke Tantha
untuk belajar lebih dalam lagi bertepatan di mesjid al-Ahmadi fikih.
Di tempat ini ia mengikuti pelajaran yang
diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk
mendapatkan ilmu. Ia tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan yang
mementingkan hafalan tanpa pengertian bahkan ia berpikir lebih baik tidak
belajar dari pada menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikih
yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallat nashr ( kampungnya )
dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.[4]
Keputusan Muhammad Abduh untuk meninggalkan
dunia pendidikan tidak disetujui oleh orangtuanya. Maka dengan terpaksa ia
kembali ke Thanta sekitar 40 hari setelah pernikahannya. Namun, dalam di tengah
perjalanannya ia merubah arah tujuannya. Ia bukannya ke Thanta,
melainkan ke sebuah Desa yang bernama Kanisah Urin, di sana tinggal
pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwiys Khadr adalah seorang
alim yang banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam
ilmu agama, dan sangat perhatian dengan bidang tafsir Al-Qur’an.
Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca buku. Ia
berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang dibaacanya. Atas bantuan
pamannya itu terutama yang berkaitan dengan tasawuf.[5] Ia akhirnya
mengerti apa yang diajarkan oleh pamannya. Sejak saat itulah minat bacanya
mulai tumbuh dan ia berusaha membaca buku-buku secara mendiri. Istilah-istilah
yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian
dapatlah ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu
sebelumnya adalah karena rendahnya minat untuk belajar. [6]
Setelah merasa cukup Abduh kembali
melanjutkan perjalanannya menuntul ilmu menuju Kairo, guna menempuh pendidikan
di al-Azhar. Di sini pun Abduh kembali kecewa karena metode pelajarannya sama
yang ia dapatkan sewaktu ia belajar di Tantha, maka iapun mencari guru di luar
al-Azhar, dari sinilah Abduh belajar non agama yang tidak ia dapatkan di
al-Azhar. Antara lain, filsafat, matematika, dan logika ia mendapatkan
ilmu-ilmu tersebut dari Sekh Hasan at- Tawil.
Abduh meniggal pada usia lima
puluhan. Oposisi sengit terhadapnya dari lawan akademis maupun lawan legalnya
merupakan bukti betapa besar pengaruhnya dan betapa tajam visinya tentang Islam
yang baru. Gagasan-gagasannya terus tersebar luas melalui jurnal berpengaruh,
al- Manar. Namun, tidak ada muridnya yang mencapai ketinggian ilmunya.
Kemudian, muncul berbagai reaksi negatif terhadap warisannya, tak lama sesudah
ia meninggal. Dalam jangka panjang, dia melambangkan suatu modernis yang
berkembang dan membuka cakrawala pandang yang segar. Akan tetapi, dia juga
meninggalkan banyak isu yang tak terselesaikan.[7]
B.
Ide-ide Pembaharuan Muhammad
Abduh
Suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa Muhammad Abduh
mewariskan ide-ide pembaharuan yang amat berpengaruh keseluruh dunia Islam.
Tentang ideide pembaharuannya, para sarjana berbeda dalam
mengklasifikasikan. Ide-ide tersebut oleh H.A.R. Gibb, dirangkum dalam empat
kegiatan utama,[8]
yaitu:
1.
Pembersihan
Islam dari bid’ah
2.
Pembaharuan
pendidikan al-Azhar
3.
Perumusan
kembali ajaran Islam sejati dengan pemikiran modern.
4.
Pembelaan
Islam terhadap pengaruh-pengaruh Eropa dan serangan-serangan Kristen.
Sementara itu, Harun Nasution
mengungkapkan adanya enam ide pembaharuan yang di kedepankan oeh Muhammad
Abduh,[9]
yaitu:
1.
Membongkar Kejumudan
Jumud mengandung arti kestatisan,
tiadanya perubahan dan pembekuan, Ummat Islam harus dihindarkan dari kenbekuan tersebut,
dan mau menerima perubahan tersebut, dan mau menerima perubahan serta bisa
mengkritisi tradisi yang ada. Muhammad Abduh sangat menentang taqlid yang
dipandangnya sebagai faktor yang melemahkan jiwa kaum muslimin. Pandangan
Muhammad Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah
sedemikian lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang
perlunya melaksanakan ijtihad. Ia berpendapat bahwa
sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu
sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. sehingga umat tidak
mau menerima peubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran ummat
saat ini.
Muhammad Abduh dengan keras mengkritik
ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid. Sikap ulama ini kata Muhammad ‘Abduh
membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam
yang berpegang teguh yang pada pendapat ulama klasik, dipandang Muhammad Abduh
berlainan betul dengan sikap umat Islam terdahulu. Al-Qur’an dan Hadis, katanya
melarang umat Islam bersifat taqlid.[10]
Tujuan Muhammad ‘Abduh dalam menegaskan
kembali Islam yang sebenarnya; yaitu untuk membebaskan pikiran dari kungkungan
taqlid, dan memahami agama seperti yang dipahami oleh para pemimpin umat
sebelum perselisihan muncul; untuk mengembalikan pada pencapaian pengetahuan
agama menuju sumber-sumber pertamanya, dan menimbang sumber-sumber itu pada
skala-skala nalar manusia, yang telah Tuhan ciptakan guna mencegah perbuatan
yang berlebihann atau menyimpag dalam agama, sehingga kebijaksanaan Tuhan dapat
terlaksana dan tatanan kehidupan manusia terpelihara; dan untuk membuktikan
bahwadilihat dari sudut pandang ini Agama adalah sehebat ilmu pengetahuan,
mendorong manusia untuk melakukan penyelidikan tentang rahasia kehidupan,
menyerukan kepada manusia untuk menghormati kebenaran yang telah ditetapkan,
dan menjadikan kebenaran-kebenaran itu sebagai landasan bagi kehidupan moral
dan prilakunya.[11]
2.
Perlunya Ijtihad
Sejak abad ke 4 H, ummat Islam meyakini bahwa pintu Ijtihad telah
tertutup, kenyataan ini tetap berlangsung dalam kurun waktu yang agak lama,
hingga masa Muhammad Abduh. Ia menyadari bahwa masyarakat dari masa kemasa akan
selalu berkembang di dunia dengan perkembangan zaman , tentu saja ia tidak
menerima kalau pintu ijtihad ditutup. Abduh mengatakan pintu ijtihad harus
selamanya dibuka. [12]Selanjutnya, menurut ‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad
di bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung
pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak
menghendaki perubahan menurut zaman.
Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu
dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena taklid di bidang muamalah
menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid menghambat perkembangan
bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan
sebagainya.Pendapatnya tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada
hati tetapi pada akal. Qur'an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal.
Islam, menurutnya adalah agama rasional.[13]
Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang takkan
sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali mengikat tali
persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan
akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan dengan akal, maka harus dicari
interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami secara rasional. Kepercayaan pada
kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa. Sebenarnya, seruan Muhammad Abduh
untuk terus membuka pintu Ijtihad tersebut hanya melanjutkan apa yang telah
dirintis oleh para pendahunya, syekh al- Tahthawi, Syeikh Jamaluddin Al-Afgani
dan lain-lain.
Bahwa terbukanya pintu Ijtihad itu tidak berarti boleh
dimasuki oleh siapa saja. Menurut Muhammad Abduh, hanya orang-orang yang
memenuhi persyaratan yang boleh berijitihad. Dasar atau landasan ijitihad yang
dipergunakan haruslah Al-Quran dan Hadis-hadis Nabi, bukan pendapat-pendapat
ulama yang selama ini ditaqlidi. Sedangkan lapangan ijitihad adalah
permasalahan muamalah, bukan ibadah.[14] Dengan
dibukanya pintu ijtihad tersebut,
diharapkan perkembangan fiqih tidak mengalami stagnasi, selanjutnya perlu
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
3.
Penggunaan Akal Pikiran
Pelaksanaan Ijtihad, diakui atau
tidak, tentu saja melakukan akal pikiran. Karenanya, akal harus dibangunkan
dari tidur lelapnya. Ini mengingat bahwa Allah menciptakan manusia dengan
fasilitas akalnya untuk menyiapkan diri menerima petunjuk-petunjuk ilmu
pengetahuan dan bukti-bukti dari peristiwa yang terjadi. Menurut Muhammad
Abduh, dalam Islam ada ajaran menjunjung
tinggi akal. Tidak hanya penghargaan atas akal yang dihidupkannya, tetapi juga
perhatian-perhatian terhadap kajian-kajian filsafat digalakkannya.[15]
Maka tidak mengherankan mana kala pemikiran filosofis mulai muncul kembali
kepermukaan, setelah dalam waktu yang relatif lama hilang dari dataran
pemikiran ummat Islam.
4.
Ilmu Pengetahuan Modern
Ilmu pengetahuan modern yang datang
dari barat, menurut Muhammad Abduh, tidaklah bid’ah sebagaimana yang selama ini
di yakini oleh ummat Islam. Ilmu pengetahuan tersebut di dasarkan pada
sunnatullah dan tidak bertentangan dengan Islam, karena juga bersal dari Allah.
Selanjutnya Muhammad Abduh
menandaskan bahwa Islam bila dipahami dngan benar akan dapat menerima segala
bahasan ilmiah. Bahkan Islam, masih menurut Muhammad Abduh, lebih dulu memiliki
toleransi untuk dapat menerima ilmu pengetahuandaripada Nasrani. Selain itu,
Islam dianggap penyebab tegaknya semangat ilmiah di Eropa pada Abad ke 16 M.
5.
Perbaikan Pendidikan Modern di al-Azhar
Ide pembaharuan pendidikan al- Azhar
yang di inginkan Muhammad Abduh barangkali muncul karena kondisi minim yang
dilihatnya pada saat belajar di Universitas tersebut. Ketika dia belajar di al-
Azhar , dia tidak menemukan ilmu-ilmu Fardhu Kifayah, sehingga untuk
mendapatkannya dia harus mencari ilmu-ilmu tersebut di luar al-Azhar.
Lawatannya ke Eropa selama beberapa waktu dan kejumudan yang dirasakannya di
masjid Al-Ahmady, tanta waktu belajar, nampaknya juga berperan dalam
memunculkan ide pembaharuannya di al-Azhar. Baginya, pembenahan di Al-Azhar
sama halnya dengan membenahi kondisi ummat Islam secara keseluruhan. Karena
para mahasiswanya berasal dari seluruh
penjuru dunia.
Langkah-langkah yang diambilnya
dalam membanahi al-Azhar paling tidak berkisar pada beberapa hal. Pertama,
pembatasan kurikulum, kedua, ujian tahunan dengan memberikan beasiswa bagi
mahasiswa yang lulus. Ketiga , penyeleksian buku-buku yang baik dan
bermanfaat,. Keempat, tempo mata kuliah yang primer lebih panjang daripada yang
hanya sekunder. Kelima, penambahan mata kuliah-mata kuliah yang terkait dengan
ilmu penegtahuan modern.
Langkah-langkah yang ditempuhnya
dalam bidang administrasi adalah penentuan gaji yang layak bagi ulama al-Azahar
dan staf pengajar yang ada. Sarana prasarana yang sebelumnya tidak ada pun
dipriroritaskan.
Meski tak disangkal bahwa
pembahruan-pembaharuan yang ditempuh oleh Muhammad Abduh tersebut banyak
memberikan manfaat, tetapi itu bukan berarti tidak ada hambatan sama sekali.
Kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah pembaharuannya di al-Azhar tersebut
banyak ditentang oleh para ulama al-Azhar sendiri. Tak kurang juga, Khadewi
Abbas, penguasa Mesir pada saat itu, ikut menentang dan tidak merestui apa yang
ditempuhnya.[16]
Agar
lebih jelasnya Adapun
pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan al-Azhar
adalah :
a. Menaikan gaji guru-guru atau dosen-dosen yang miskin
b. Membangun Ruaq Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosen-dosen dan
mahasiswanya.
c. Mendirikan Dewan Administrasi Al-Azhar ( Idarah al-Azhar)
d. Memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
e. Mengangkat beberapa orang
sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh al-Azhar.
f. Meengatur hari libur,dimana libur lebih pendek dan masa
belajar lebih panjang.
g. Uraian pelajaran yang
bertele-tele yang dikenal Syarah al-Hawasyi diusahakan dihilangkan dan
digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
h.
Menambahkan mata pelajaran Berhitung,Aljabar,Sejarah Islam,Bahasa dan
Sastra dan Prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum al-Azhar.
6.
Pemikiran Politik
Keterlibatan Muhammad Abduh dalam
kegiatan politik tentu saja tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran besar
gurunya ketika di Paris. Jamaluddin Al-Afgani, gurunya tersebut, berperan besar
dalam mematangkan kemampuan Muhammad Abduh dalam kegiatan berpolitik. Tidak
mengherankan manakala ketika masih aktif dalam dewan legislatif Mesir, Muhammad Abduh banyak melontarkan
pemikiran-pemikiran politiknya. Menurutnya kekuasaan dari penyelenggaraan
Negara haruslah di batasi. Pemerintah harus siap terhadap setiap koreksi yang
dikemukakan oleh rakyat atas segala kekhilafan.
Pemikiran-pemikirannya dalam bidang
politik tersebut nampaknya berpengaruh besar dalam pentas politik Mesir. Hal ini
dapat dilihat ketika dia menapaki tangga ke anggotaan dewan legislatif Mesir,
dimana pemerintah tidak lagi mengacuhkan masukan-masukan Majelis Syura.[17]
Menurut Muh`ammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang
ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu,
melalui musyawarah dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi
terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti
Agung). Dia memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan
hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama. Islam
tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at
menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa,
entah itu Khalifah ataupun Sultan. Peranan penguasa ini berbeda dengan peran qadhi
(hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan adil oleh qadhi.
Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan keputusan qadhi, maka
tak ada kearifan dalam perundang-undangan. Penguasa berhak untuk ditaati selama
dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada
ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak
mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya.
Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang
mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya. Khalifah atau Sultan
merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin
adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis
syura. Siap atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan
ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya
mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan
kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik.[18]
C.
Karya-Karya Muhammad Abduh
Diantara beberapa karya Muhammad Abduh antara lain:[19]
1.
Risalah
Tauhid
2.
Syarah
al-Bashair al- Nashiriyah Fil Mantiq
3.
Hasyiyah
‘ala Syarah al-Dawani Lil ‘Aqaid al-Adudiyah.
4.
Syarah
Maqamat Badi’as Zaman al-Hamazani.
5.
Al-Islam
wan Nasraniah ma’al Ilmi wal- Madaniyah.
6.
Taqrir
Fi Ishlahi al- Mahakim al- Syar’iyah
Sedangkan
menurut Abd. Kholiq, S.Ag, M.H.I., [20]
adapun karya-karya Muhammad Abduh antara lain:
1.
Al-Waridat,
Karya pertamanya yang ditulis ketika masih menjadi mahasiswa al-Azhar, berisi Ilmu Tauhid dari sudut pandang tasawuf
dan dijiwai pokok pikiran al- Afghani;
2.
Wahdatul
Wujud
3.
Syarah
Nahj al-balaghah, karya sastra yang berisi ilmu Tauhid dan kebesaran Islam;
4.
Falsafah
al-Ijtima’i wa al- Tarikh, ditulis ketia Abduh memberi kuliah di Dar al-Ulum,
berisi tentang Filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat;
5.
Syarh
Bashairin Nashiriyah, tentang Ilmu Mantiq yang telah dikuliahkan di al-Azhar
dan diakui sebagai kitab terbaik dibidangnya.
6.
Risalah
At-Tauhid, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan beredar luas ditengah-tengah
masyarakat;
7.
Al-
Islam wa an- Nasraniah ma’al Ilmi wal- Madaniyahn, tangkisan terhadap serangan
mentri Luar Negri Prancis, Hanoyoux;
8.
Tafsir
Surah al-Ashr
9.
Tafsir
Jus-Amma
10. Tafsir Muhammad Abduh, Tafsir ini disusun oleh Rasyid Ridha dari
kuliah yang diberikan di al-Azhar dan baru juz 10 Abduh wafat. Penafsiran
kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridha hingga juz ke 12, pada mulanya Tafsir
Muhammad Abduh tersebut dimuat berturut-turut dalam penerbitan Majalah
al-Manar,[21]
kemudian dibukukan dan diberi nama Tafsir al-Manar;[22]
11. Hasyiyah ‘ala Syarah
al-Dawani Lil ‘Aqaid al-Adudiyah.
12. Syarah Maqamat Badi’as Zaman al-Hamazani.
13. Taqrir Fi Ishlahi al- Mahakim al- Syar’iyah.[23]
14. Durus Min al-Quran al-Karim.
D.
Sistem Teologi Modernis Muhammad
Abduh
Berbicara masalah Teologis Muhammad
Abduh lebih cendrung berpahamkan teologis Mu’tazilah, sejarah mencatat bahwa
pengasingan Abduh sebagai Dosen di al-Azhar, bukan berasal dari konfliknya
dengan siswanya. Kebanyakan dari mereka malahan tertarik dengan gaya dan metode
penyelidikan intelektualnya yang dikendalian oleh pencarian yang rasional
terhadap makna teks, tapi malahan dari ulama yang fanatik terhadap mazhab
Ash’ary. Seorang guru besar al-Azhar yang sudah senior dan reaksioner, Sekh
Ulaysh menantang Abduh terang-terangan. Shekh Ulaysh bertanya, “apakah beliau
sudah melepaskan Ajaran Ash’ary untuk mengikuti ajaran Mu’tazilah, Abduh
Menjawab, “kalau saya melepaskan penerimaan yang buta taqlid terhadap doktrin
Ash ‘ariyah, kenapa saya harus menerima Mu’tazilah dengan membabi buta?[24]
Dalam jawaban ini maksud dari Abduh adalah bahwa setiap muslim harus
menghindari penekanan dogmatis terhadap apa saja , termasuk Mu’tazilah dan
akidah-akidah lainnya, walau pada hakikatnya Abduh lebih cendrung memakai
ajaran teologi Mu’tazilah.
Muhammad Abduh menghabiskan waktunya
di pengasingan tahun 1885 di Beirut. Untuk kembali mengingat intelektualisme
Mu’tazilah, dan kebebasan berpikir, Abduh pernah berkatasaat dibeirut:
Beliau mendapat keuntungan dari
golongan orang biasa dari semua sekte dan bangsa, sunni , Shiah, Kristen dan
Yahudi yang datang kerumahnya untuk memberikan tanggapan terhadap pandangannya
tentang persoalan agama. Beliau memperlakukan semua orang dengan kesopananyang
tidak membeda-bedakan, tapi tidak pernah mengatakan kecuali apa yang beliau
yakini apakah sehubungan dengan agama, pelajaran, adat, dan hubungan sosial.
Beliau mendapat perhatian semua orang karena pelajarannya, dan karena
kepandaian retorikanya.[25]
Saat beliau memberikan kuliah di
Beirut tentang Teologi Islam (kalam) lalu diterbitkan dengan judul Risalah
Tauhid (Risalah tentang ke Esaan Tuhan), dalam buka itu juga Abduh betul-betul
merasakan kebutuhan untuk memulihkan kembali Rasionalisme yang dulu
diperjuangkan oleh mukallimun Mu’tazilah untuk menjadi etos intelektual
masyarakat Islam. Beliu nyata-nyatanya membela doktrin Mu’tazilah tentang
penciptaan Al-Quran, (Khalq Al-Quran). Abduh mengaskan juga bahwa
rasionalisme Islam yang inheren dan cocok dengan dan bahkan mengantisipasi ilmu
oengetahuan moderen. Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Mutakalimun Mu’tazilah
dulu yang pada hakikatnya tujuan
muhammad Abduh berpikir dalam hal ini adalah agar ummat Muslim dapat
mempertahankan Islam dari serangan luar (Eropa dan Kristen).
E.
Analisis Kristis Terhadap Pemikiran Muhammad Abduh
Dalam
urusan-urusan keduniaan, seperti dalam urusan pertanian, pertukangan,
perindustrian , pengangkutan, perumahan, persekolahan, pelajaran dan pengajaran
, kebudayaan, kesenian, adat istiadat dan lain-lain sebagainya kita tentu
menerima modernisasinya dan bahkan menganjurkannya, selama sesuatu itu belum
ada peraturan-peraturan yang datang dari Kitabullah dan sunnah Rasul.
Karena
dalam hal ini Nabi kita pernah bersabda mengenai urusan dunia Nabi kita telah
memberi izin kepada kita bahwa soal keduniaan kita boleh mengerjakan apa yang
baik menurut kita. Beliau bersabda:
اَنْتُمْاَعْلَمُبِاَمْرِدُنْيَاكُمْ.
رواهمسلم
Artinya :
kamu lebih tahu dari saya tentang urusan duniamu (H.R. Muslim).
Adapaun
dalam soal Keagamaan, soal syariat, soal ibadah, soal iqtiqad, tentunya kita
tolak bersama. Agama adalah dari Allah dan Rasulnya, kita wajib menerima apa
adanya, ya’ni sebagai mana yang di ajarkan Rasululah 14 abad yang lalu. Nabi
bersabda:
عُنْاَنَسٍرَضِىْاللهُعَنْهُقَالَ:
قَالَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَاِذَاكَانَشَىْءُمِنْاَمْرِدُنْيَاكُمْفَاَنْتُمْاَعَلَمُبِهِ،فَاِذَاكَانَمِنْاَمْرِدِيْنِكُمْفَاِلَىَ.
رواهاحمد
Artinya: Dari anas bin Malik Rda, beliau bersabda, Rasulullah telah bersabda:
Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang yang lebih tahu, tetapi
apabila dalam urusan agamamu maka saya yang mengaturnya”.[26]
Modernis
pada hakikatnya adalah perubahan dan penukaran. Dulu rumah bambu sekarang rumah
batu, dulu dengan sepeda sekarang dengan pesawat udara, ulu dengan cangkul
sekarang dengan mesin. Ini semua adalah perubahan dan penukaran, bukan
perbaikan.
Ada beberapa hal
yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan
dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu
disikapi secara kritis itu antara lain;[27]
1.
Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad
Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak
berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia
menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka
akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah
tidak diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam
tidak mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi. Kalau kita baca sejarah bahwa hampir semua gembong-gembong
modernisasi agama mengharamkan taqlid, tetapi menganjurkan atau mewajibkan
supaya seluruh rakyat berijitihad, taqlid bagi mereka dikutuk, sama dengan
mengutuk bidi’ah dan khurafat dan masalah ini adalah masalah pokok bagi mereka,
karena mereka mengartikan ijtihad “Pengeroksian” dan taqlid mereka artikan
dengan “mengikut bapak-bapak” atau “mengikut nenek moyang” atau “mengikut Kiyai
yang bersorban” atau membabi buta. Padahal ini semua pengertian-pengertian yang
sangat keliru, sehingga membuahkan pendapat-pendapat yang keliru.dapat kita
ketahui bahwa arti Ijitihad menurut
ulama Usul Fiqih adalah “ Usaha seorang
ahli Fiqih menggali dan mengeluarkan huku-hukum Fiqih yang tersirat di dalam
Quran dan Hadis”. Dan adapaun arti Taqliqd adalah “ mengikut Imam-imam
Mujutahid”
Dalam
hal ini KH. Sirajuddin Abbas memberikan contoh : [28]
Di
dalam Al-Quran Allah berfirman:[29]
xsù@à)s?!$yJçl°;7e$é&wur$yJèdöpk÷]s?@è%ur$yJßg©9Zwöqs%$VJÌ2
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.
Hukum
yang tersurat dalam ayat ini adalah :
a.
Tidak
boleh, haram, mengatakan “ah” kepada ibu bapak
b.
Tidak
boleh, haram, membentak, kepada ibu bapak.
Kalau kita
perhatikan ayat ini yang dilarang hanya mengatakan “ah” atau membentak” ,
tetapi memukul, menyepak, memaki, melukai, mencederai, mencaci dan lain
sebagainyayang tidak tersurat dan tidak tersebut dalam ayat ini. Lalu timbul
pertanyaan : Apa boleh menyepak ibu bapak? Apa boleh menendang mereka? Apa
boleh menempeleng mereka?
Imam-imam
mujutahid yang mengeluarkan hukum yang tersirat dari ayat ini, bahwa memukul,
menyepak, menendang dan lain-lain yang serupa itu adalah haram hukumnya. Hukum
yang tersirat dalam ayat ini digali oleh seorang ahli yang disebut Imam
Mujutahid. Usaha menggali itu dinamakan Ijitihad dan orang yang mengikuti fatwa
Imam mujutahid disebut Orang “taqlid”.
Tidak sembarang
orang bisa menggali hukum itu, yang dibolehkan hanyalah orang yang ahli, yang
expert. Ibarat menggali emas dari tanah , tidak sembarang orang dapat
melakukannya. Yang dapat melaksanakannya adalah orang –orang yang ahli tambang
yang mempunyai banyak alat-alat mekanis. Andaikata menggali emas diserahkan
kepada orang yang biasa pake cangkul, maka bukan emas yang dia dapat , tetapi
kunyit yang sama juga kuningnya dengan Emas.
Andai kata diikuti aliran faham golongan Modernis, yaitu mewajibkan
supaya seluruh orang berijitihad, maka ternyatalah bahwa orang Islam ini Semua
akan Berdosa, karena mereka tidak melaksanakan ijitihad itu.
Bagaimana bisa
seorang buruh kereta api, yang kerjanya menjadi masinis dapat melakukan
ijitihad, bagaimana mungkin saudagar di Pasar bawah Atau di Pasar Kodim
Pekanbaru dapat melakukan ijitihad, sedang mereka tidak mengerti Quran dan
hadis, bagaima mungkin seorang kelasi di laut melaksanakan ijitihad, padahal ia
tak pernah belajar kitab “huruf Gundul” dan tak pernah membacanya.
Itulah anjuran
dari golongan orang-orangmodernisasi agama, yang dalam teorinya memang baik,
yang dalam bunyinya memang bagus, tatapi dalam prakteknya tak bisa dikerjakan,
kalau tidak akan dikatakan mustahil untuk dilaksanakan.
2.
Dengan
semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis
kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan
konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif
(akal) dan aspek afektif (spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan
yang diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak
hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan
spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek
pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah
pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai
dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syeikh Muhammad
Abduh dalam Tologi lebih cendrung berpahamkan Mu’tazilah dan lebih
mengedepankan Akal daripada Wahyu. Dalam satu sisi beliau sangat berjasa dalam memberi gambaran yang
jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam urusan-urusan keduniaan, seperti dalam urusan pertanian,
pertukangan, perindustrian , pengangkutan, perumahan, persekolahan, pelajaran
dan pengajaran , kebudayaan, kesenian, adat istiadat dan lain-lain sebagainya
kita tentu menerima modernisasinya dan bahkan menganjurkannya. Khusus di
bidang pendididkan Muhammad Abdu mampu
merubah metode pengajaran yang bersifat
hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.
B.
Saran
Akhirnya,
untuk Allah SWT jualah semua pengabdian, hidup dan mati kami. Semua ide dan
gagasan baik yang ada dalam makalah ini adalah miliknya, dan semua khilaf yang
mungkin ada dalam makalah ini adalah milik kami sendiri, dan kepada pembaca
kami mohon kritik dan sarannya yang konstruktif, sekiranya ada dalam makalah
ini banyak salah dan janggal yang harus diperbaiki dikesempatan berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
AL-Quran
Al-Hadis
Jhon L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern,
Jakarta, PT. Mizan
Samsul Nizar, 2009, Sejarah
Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta,
PT. Kencana
Harun Nasution,2003,
Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
gerakan, Jakarta, PT. Bulan Bintang
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20,
Jakarta, PT. Gema Insani
Asnil Aida
Ritonga, Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah
H.A.R. Gibb, 1993, Modern Trend in Islam, Terjemahan Mahnun
Husain, Aliran-aliran Modern Dalam Islam, Jakarta, PT. Rajawali Pres
Abdul Sani, Perkembangan Modern Dalam Islam
Hourani Albert , 1798-1939, Arab Thouht Age, London, Oxford
University Press.
Harun Nasution, 1995, Islam Rasional, Bandung, PT. Mizan
Mukhtafi Sahal dan Ahmad Amir Aziz,
Teologi Islam Modern, Surabaya, PT. Gita Meia Press
http://juonorp.blogspot.com/2013/02/pembaharuan-pemikiran-islam-muhammad.html di
unduh tgl: 31-12-2014
M. Laily Mansur, 2004, Pemikiran Kalam Dalam Islam, Jakarta,
PT. Pustaka Firdaus.
Abd Khalig, Pemikiran Hukum Muhammad Abduh
Djarnawi Hadikususuma, Aliran Pembaruan Dalam Islam Dari
Jamaluddin al-Afghani Samapai K.H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta, PT. Persatuan
Richard C. Martin, Marx Woodward, Dwi
S.Atmaja, 2002, Post Mu’tazilah: Genealogi Konflik rasionalisme dan
Tradisionalisme Islam, Yogyakarta, PT. Ircisod
Sirajuddin Abbas, 2008, 40 Masalah Agama, Jakarta, PT.
Pustaka Tarbiyah Baru
MUHAMMAD
ABDUH 1849-1905
[1] Jhon L.
Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Jakarta, PT. Mizan, h.
12
[2]Samsul
Nizar, 2009, Sejarah
Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta,
PT. Kencana,h .240
[5] Herry
Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, Jakarta, PT. Gema
Insani, h. 226
[6] Asnil Aida Ritonga, Pendidikan Islam Dalam
Buaian Arus Sejarah, h. 12
[7] Jhon L.
Esposito. op.cit., h. 13
[8] H.A.R. Gibb, 1993,
Modern Trend in Islam, Terjemahan Mahnun Husain, Aliran-aliran Modern
Dalam Islam, Jakarta, PT. Rajawali Pres, h. 58
[9] Harun
Nasution,Op. Cit., h. 68
[10]Abdul
Sani, Perkembangan Modern Dalam Islam, 57.
[11]Albert
Hourani, 1798-1939, Pemikiran Liberal
di Dunia Arab, london, Oxford
University Press, h. 227
[12]Harun Nasution,
1995, Islam Rasional, Bandung, PT. Mizan, h. 198
[13]Dalam al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang menggambarkan posisi akal yang tinggi dengan lafadz:
afalâ ta’qilûn, afalâ yatadabbarûn, dll.
[14] Harun
Nasution, Pembaharuan..., Op. Cit., h. 64
[15] Harun
Nasution, Islam Rasional..., Op. Cit., h. 314
[16] Mukhtafi Sahal
dan Ahmad Amir Aziz, Teologi Islam
Modern, Surabaya, PT. Gita Meia Press, h. 22
[18]. http://juonorp.blogspot.com/2013/02/pembaharuan-pemikiran-islam-muhammad.html di
unduh tgl: 31-12-2014
[19] M. Laily
Mansur, 2004, Pemikiran Kalam Dalam Islam, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus,
h. 97
[20]Abd Khalig, Pemikiran
Hukum Muhammad Abduh, h. 3
[21] Djarnawi
Hadikususuma, Aliran Pembaruan Dalam Islam Dari Jamaluddin al-Afghani
Samapai K.H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta, PT. Persatuan, h. 44
[22]Tafsir
al-Manar yang bernama Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim memperkenalkan
dirinya sebagai, “kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat
yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah
syari’ah, serta sunatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia,
dan menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap
waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum
muslimin yang dewasa ini.
[23] M. Laily
Mansur, Op. Cit., h. 97
[24] Richard C.
Martin, Marx Woodward, Dwi S.Atmaja, 2002, Post Mu’tazilah: Genealogi
Konflik rasionalisme dan Tradisionalisme Islam, Yogyakarta, PT. Ircisod, h.
240
[26] H.R. Imam
Ahmad bin Hambal
[27]http://juonorp.blogspot.com/2013/02/pembaharuan-pemikiran-islam-muhammad.html di unduh
tanggal 31-12-2014
[28] Sirajuddin
Abbas, 2008, 40 Masalah Agama, Jakarta, PT. Pustaka Tarbiyah Baru, h.
256
[29] Q.S. Al-Isra
Ayat : 23
1 komentar:
Write komentarArtikel ini sangat membantu saya, yang ingin mengetahui pemikiran Muhammad Abduh. Terimakasih.
ReplyEmoticonEmoticon