PEMIKIRAN PENDIDIKAN BUYA HAMKA

01.21 0


PEMIKIRAN PENDIDIKAN HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
 (HAMKA)


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu
Dr. Salmaini Yelli, M.Ag





Oleh :

MADAYANSYAH TAMBUNAN
NIM : 21491106341
           




PROGRAM  PASCA SARJANA
UNIVERSITAS  ISLAM  NEGERI
SULTAN  SYARIF  KASIM  RIAU
PEKANBARU
2015 M/1436 H
PEMIKIRAN PENDIDIKAN HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
 (HAMKA)

Bismillahirrahmanirrahim
A.    Biografi Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Abdullah bin Abdul Karim Amrullah atau Hamka,  lahir  di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 16 Februari 1908 dari keluarga yang taat beragama.[1] Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji rasul, seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Makkah dan pelopor kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung.[2]
1
Waktu Hamka dilahirkan, dan dukun menyampaikan bahwa anaknya seorang laki-laki, dengan spontan Haji Rasul mengucapkan “sepuluh tahun”. Kemudian mertuanya bertanya tentang maksudnya dengan kata-kata “sepuluh tahun”, lalu beliau menjawab, sepuluh tahun ia akan dikirim belajar ke Makkah”, supaya suatu hari ia akan menjadi orang yang alim seperti aku, seperti kakeknya, dan seperti kakek-kakeknya dulu, Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari ayahnya.[3] Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun belajar, dan malah belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak Zainudin Labai el-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang panjang, Hamka lalu dimasukkan ayahnya kesekolah ini. Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa dan sore hari pergi mengaji ke sekolah Diniyah, dan pada malam hari berada disurau dengan teman-temannya. Seperti itulah kegiatan rutinitas yang selalu dilaluinya. Aktifitas yang begitu monoton membuat Hamka jenuh. Dengan rutinitas yang bagi Hamka cukup membosankan, tidak ayal memancing prilaku menyimpang dalam pertumbuhan Hamka, sehingga dalam menghilangkan kebosanannya sejak  kecil ia senang nonton film. Bahkan karena hobinya ini, ia pernah diam-diam mengicuh guru ngajinya karena ingin menonton Film Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan menonton film ini berlanjut terus, dan kerapkali ia mendapat inspirasi menulis karya-karya sastra dari menonton film ini. Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang muballigh.[4]
Selanjutnya pada tahun 1918, disaat Hamka sudah dihitan dikampung halamannya Maninjau, dan diwaktu yang sama pula ayahnya Syeikh Abdul Karim Amrullah, kembali dari tanah jawa. Kemudian di surau Jembatan Besi, tempat Syeikh Abdul Karim Amrullah memberikan proses pendidikan agama dengan metode lama, dirobah menjadi madrasah yang kemudian dekenal dengan Thawalib School. Tentunya dengan keinginan kelak anaknya jadi ulama sesuai dengan harapannya. Syeikh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke Thawalib School yang diiringi Hamka harus berhenti dari sekolah Desa.
Dalam perkembangan awalnya Thawalib School ini masih belum mampu melepaskan diri dari cara-cara lama dalam proses pembelajaran agama. Kendatipun demikian bagian dari perobahan sudah mulai tampak mewarnai lembaga pendidikan ini. Malah menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi yang sejak dulu memberikan pelajaran agama dengan pola lama, merupakan surau pertama yang memprgunakan sistem klasikal.[5] Sekalipun sistem yang menerapkan menghafal ini yang membuat Hamka cepat bosan dan memusingkan kepalanya sendiri. 
Kondisi dengan pola belajar seperti di atas tidak menarik bagi Hamka, mengakibatkan keseriusannya untuk belajar tidak tumbuh dari dalam hatinya, namun terpaksa dari kehendak ayahnya. Keadaan inilah yang membuat Hamka betah berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinaro. Hamka menjadi asik di perpustakaan ini mendalami buku-buku cerita dan sejarah. Perpustakaan tersebut yang diberi julukan dengan nama Zainaro, menumbuhkan semangat tertntu bagi Hamka. Tekanan hati yang dirasakannya seolah mendapat tempat pelarian di perpustakaan ini. Ide yang polos dari seorang anak-anak dapat berkembang dan tumbuh, namun seiring dengan pertumbuhan idenya itu, tidak serta merta mendapat mendapat dukungan dari ayahnya, sampai ayahnya pernah mengucapkan kata “Apakah engkau akan menjadi orang alim atau hanya akan menjadi tukang cerita”, kritikan ini ia dapatkan ketika tertangkap basah sedang asik membaca di perpustakaan.
Di usianya yang ke 12 tahun, adalah merupakan goncangan jiwanya yang cukup berat. Hal demikian dikarenakan perceraian ayah dan ibunya yang tidak terbantahkan. Karena demikianlah suatu keharusan menurut adat. Suatu hal yang sangat mungkin bahwa peristiwa ini yang kemudian dapat membentuk sikap Hamka yang memandang peraktek adat tidak sesuai ajaran agama Islam. Adat, terutama adat kawin cerai, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas, menurut Hamka, “Seumpama batu yang sudah berlumut sudah masanya untuk di simpan”. [6]
Setiap ketetapan yang dijalankan didalam adat, serta terlalu mudahnya dalam menafsirkan tentang kebolehan untuk berpoligami, kendatipun bedalih merupakan ajaran Islam dan sudah tertanam dalam pemikiran orang Minangkabau. Pemahaman yang demikian, akan memberikan kemungkinan yang luas bagi para ulama, sebagai seorang yang terpandang di tengah masyarakat, untuk mendapatkan pembenaran melakukan kawin cerai dengan berulang-ulang. Kenyataan ini pula yang didapatkan oleh Hamka dalam keluarganya, yang berujung pada si Hamka kecil, menjadi anak “tinggal”, yang pada gilirannya dapat membentuk “kenakalan” dalam keseharian Hamka.[7]
Kenyataan yang demikian membuat Hamka merasa ingin jauh dari kehidupan ayahya. Keinginan yang besar untuk pergi ke tanah Jawa, sebagai akibat dari pemahamannya yang didapat sebagai bentuk informasi di perpustakaan Zainaro. Hamka mengambil keputusan yang boleh dibilang nekat, berangkat ke tanah Jawa seorang diri. Tapi kenyataan tidak semulus yang dibayangkan, pelariannya terhenti di Bengkulu karena ia terkena penyakit cacar. Sampai dua bulan lamanya Hamka berada di pembaringan. Setelah sembuh ia kembali pulang ke Padang Panjang dengan tubuh dan wajah dipenuhi bekas cacar. Kegagalan ini tidak membuat Hamka putus asa, setahun kemudian, tanpa dapat dihalangi oleh ayahnya, Hamka berngkat kembali untuk yang kedua kalinya menuju tanah Jawa pada tahun 1924.
Hamka menetap di tanah Jawa relatif singkat, kurang lebih dari satu tahun, menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan ”semangat baru” baginya dalam mempelajari agama Islam. Musafir dalam rantau dalam pencarian ilmu ia  mulai dari kota Yogyakarta, dimana kota tersebut merupakan tempat lahirnya organisasi Muhammadiyah. Melalui Ja’far Amrullah, pamannya, Hamka kemudian memperoleh kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam perjalanannya ia juga bertemu dengan Hos Tjokroaminoto dan menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada Hos Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan K.H. Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Tidak hanya sampai disitu, Hamka juga mendengar langsung ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme. Disamping itu ia berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal.[8] Dalam perantauannya mengisaratkan bahwa Yogyakarta mempunyai makna tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Hamka sebagai seorang pejuang dan penganjur Islam. Dimana kota tersebut telah memberikan sesuatu dalam mendorong kesadaran keagamaan Hamka dan memperkokoh semangat kepemudaannya, meskipun belum dapat dilepaskannya secara keseluruhan sifat kekanak-kanakannya. Namun ia sudah dipandang  sebagai pemuka diantara rekan-rekannya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di Yogyakarta Islam itu sebagai sesuatu yang hidup, yang mengedepankan kedinamisan dalam pendirian dan perjuangan.
B.      Aktivitas Buya Hamka
Setelah malang-melintang musafir dan belajar di Yogyakarta, semangat keislaman yang tertanam dalam hatinya bermanifestasi dengan bentuk gerakan-gerakan sosial dan politik serta agama di Yogyakarta, dapat membuat Hamka terlarut didalamnya. Sebagaimana yang diceritakannya sendiri, ia pernah ikut serta dalam keramaian peringatan maulid Nabi yang sangat meriah, yang dalam perhelatan besar itu berbaris sambil mengibarkan bendera-bendera yang bertuliskan “Al-Islam” yang berwarna hijau. [9]. Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.[10]
Tumbuhnya kesadaran baru dalam memandang wajah Islam yang diperolehnya di Yogyakarta, kemudian beriring dengan pengukuhannya di saat ia berada di Pekalongan, selama lebih kurang enam bulan. Dari kedekatannya dengan menantu ayahnya AR Sutan Mansur yang menetap di Pekalongan, dapat memberinya ruh perjuangan dalam mempertahankan kemuliaan hidup. Sejak saat itu Hamka meyakinkan dirinya untuk aktualisasi hidupnya sebagai seorang pemegang amanah Allah dan penyampai risalah agama Islam. Dalam usia yang terbilang muda, 17 tahun, Hamka mampu berpidato dimana-mana dengan landasan gelora dari semangatnya yang baru.
Disamping itu, ada suatu hal yang dijumpainya di Yogyakarta yakni faham komunis yang sebenarnya. Perbandingannya adalah faham komunis yang ada di tanah Jawa dengan faham komunis yang dikembang luaskaan oleh Haji Datuk Batuah Thawalib Padang Panjag. Dari penilaiannya Hamka dapat menyimpulkan bahwa komunis yang tersebar di Minangkabau bukanlah faham komunis yang sebenarnya. Kemudian ia mengabadikan penilaiannya itu dengan tulisan “komunis yang tersebar di Sumatera Barat itu bukanlah faham komunis, kerasnya sikap dan kritik mereka terhadap pemerintahan kolonial Belanda dengan mengiringi kritikan itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, itulah yang sering didengarnya sebagai bentuk yang terang dalam pendirian yang terang-terangan dari Syarikat Islam dan menjadi pembicaraan dikalangan Muhammadiyah. Jadi komunis Sumatera Barat adalah Islam, karena dari dasar kurangnya pengetahuan dan penyelidikan lalu terperosot kedalam kubangan komunis, disamping pandangan umum ketika itu yang dikatakan komunis adalah masyarakat yang anti terhadap kolonial belanda.
Dengan memiliki modal intelektual  dan semangat pergerakan seperti yang digambarkan di atas, Hamka kembali ke Minangkabau. Sejak itu ia mulai memperbaiki dan menyempurnakan arah yang dipilihnya sebagai seorang tokoh sekaligus ulama dalam arah perkembangan pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia yang semakin pesat. Dalam usianya yang masih 17 tahun diwaktu kembali ke Minangkabau dalam perjalanannya dari tanah Jawa, seiring dengan waktu Hamkapun telah tumbuh menjadi seorang yang dewasa, detengah-tengah lingkungannya. Ia mulai berani untuk tampil berpidato, bertabligh dikalangan masyarakat Minangkabau yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia pun mulai membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di Surau Jembatan Besi. Kemampuan dasar alami yang dimiliki oleh Hamka dalam mengolah dan menyusun kata-kata, baik dalam berorasi maupun dalam menulis, mampu mengantarkan Hamka pada tempat yang diistimewakan dikalangan teman-temannya. Ia kreatif dalam membukukan serta menyusun ulang pidato  teman-temannya dan kemudian diterbitkan dalam bentuk majalah yang dipimpinnya yang diberi nama Khatibul Ummah. [11]
Dalam kenyataannya jalan yang mulai perlahan diretas oleh Hamka, bukanlah tanpa hambatan dan tantangan. Bahkan ungkapan yang tidak bersahabat itupun datang dari teman-temannya dan kalangan masyarakat Minangkabau, yang dianggap memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman keagamaannya yang didasari oleh kefasihan ilmu Nahwu dan Sharaf, mereka beranggapan bahwa Hamka tidak mempunyai kelebihan. Seperti yang diungkapan mereka bahwa Hamka hanyalah seorang “tukang pidato” saja. Hamka bukanlah ahli agama atau alim, bahkan ia tidak mempunyai modal yang kuat sebagai seorang ulama, yakni tidak dapat memahami sejara mendalam ilmu Bahasa Arab.
Dalam anggapan masyarakat bahwa Hamka belum memiliki modal dasar yang harus dikuasai layaknya sebagai seorang ulama. Menurut masyarakat Minangkabau, Hamka memang pandai, namun kemahirannya seperti yang disebutkan oleh ayahnya, “cuma pandai menghafal syair, bercerita masalah sejarah, seperti seekor burung beo”. Pada kenyataannya ungkapan miring dalam bentuk kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat menimbulkan pukulan tersendiri dalam semangat Hamka. Dimana kenangan pahit diwaktu ia masih kecil dalam perasaannya seakan terulang kembali. Apalagi disaat Hamka mengetahui bahwa, gadis tunangannya telah menikah dengan pemuda lain. Pukulan kritikan yang menimbulkan rasa teraumanya dimasa kecil menjadi salah satu faktor Hamka membulatkan tekatnya untuk mengambil sebuah keputusan untuk pergi ke Makkah, boleh dikatakan suatu bentuk tempat pelarian yang kedua kalinya atas sikap kurang pedulinya  keluarga dan ayahnya terhadap mental dan nasib Hamka.
Dengan memulai hidup di Kota Makkah, aktivitasnya sebagai seorang pergerakan yang telah tertanam kokoh dalam jiwanya semenjak tinggal di Yogyakarta, membuat Hamka tidak tinggal diam. Semenjak ia berangkat dari tanah air pada bulan Februari 1927, menjelang pelaksanaan ibadah haji, Hamka bersama dengan beberapa calon jamaah haji lainnya sempat mendirikan sebuah wadah organisasi yang bernama Persatuan Hindia Timur. Organisasian ini mempunyai tujuan untuk memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji, terhadap para calon jamaah haji dari Indonesia.
Dilain hal, dalam mewujudkan keinginannya besama teman-teman di organisasi dalam memberikan pelajaran agama dalam manasik haji, harus mendapatkan izin dari Amir Faisal. Dengan kemampuan berbahasa Arab yang pas-pasan, Hamka memberanikan diri untuk tampil sebagai ketua delegasi untuk menghadapi Amir tersebut.[12] Ini merupakan sebuah keberanian yang sangat langka di kalangan calon jamaah haji asal Indonesia.
Dilain masa, Hamkapun telah menyelesaikan berbagai macam aktivitasnya di kota Makkah. Tentu waktunya untuk pulang ke kampung halaman, dengan menyandang gelar, suatu nama yang menjadi sebuah legitimasi sebagai seorang ulama dalam pandangan masyarakat Minangkabau. Hamkapun seolah memberikan penjelasan bahwa kehadirannya ditengah berbagai macam perkembangan pemikiran keagamaan di Minangkabau. karean sebelumnya Hamka dianggap tidak mempunyai kemampuan yang layak, sekarang sudah menjadi seorang anak yang siap untuk menggantikan keulamaan ayahnya, yakni Syeikhk Abdul Karim Amrullah.
Meskipun berbekal dengan harapan masyarakat dan keluarga, bahwa Hamka siap dalam menggantikan keulamaan ayahnya. Namun hal tersebut tidak dapat mengubah arah keinginan yang sudah tertanam dalam jiwa Hamka sebagai seorang pergerakan. Dan dalam hal itu, beberapa waktu setelah ia menikah dengan Siti Rahmah, ia mulai aktif sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Bahkan tidak hanya sampai disitu aktivitasnya, iapun dipercaya sebagai pimpinan sekolah yang diberi nama Tabligh School.
Secara berangsur-ansur, pengukuhan Hamka sebagai tokoh dan penyampai ajaran agama Islam secara pasti ia mantapkan. Pada tahun 1929 Hamka menjadi guru agama di Padang Panjang. Setelah itu diwaktu kongres Muhammadiyah ke 19 yang berlangsung di Bukit  Tinggi pada tahun 1930, Hamka tampil pembicara dengan judul Agama Islam dan Adat Minangkabau. lalu ketika Muktamar ke 20 digelar di Yogyakarta pada tahun 1931, Hamkapun kembali tampil sebagai pembicara dengan ceramah yang berjudul Muhammadiyah di Sumatera. Setahun kemudian, atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamka diutus ke Makasar menjadi muballigh. Pada tahun 1933 ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang, dan pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Setelah Hamka pulang dari Makasar, iapun mendirikan Kulliyatul Muballighin di Padang Panjang, di samping ia aktif menjadi seorang muballigh. Kemudian pada tahun 1936 Hamka pindah ke Medan. Di kota ini Hamka berkiprah bersama dengan M. Yunan Nasution dan sami menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat, menurut M. Yunan Nasution penerbitan majalah ini dapat memberikan andil yang tidak sedikit bagi perkembangan pengarangan dan pujangga Hamka di masa akan datang. Secara berangsur karya-karyanyapun mulai diterbitkan, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Pedoman Muballigh Islam, Teggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tasawuf Moderen, Filsafat Hidup,  Merantau ke Deli dan Tuan Direktur.
Waktu tentara Jepang berhasil mendarat di kota Medan pada tahun 1942, kehadiran Jepang tentunya berdampak terhadap aktivitas masyarakat, termasuk didalamnya kegiatan Hamka. Salah satu contohnya majalah Pedoman Masyarakat dihanguskan. Bendera kebanggaan Indonesiapun tidak boleh dinaikkan lagi. Hampir semua masyarakat kecewa dengan keadaan ini. Namun walaupun demikian, Hamka masih mendapat kedudukan yang istimewa dalam pemerintahan jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat yakni pada tahun 1944. Dalam kedudukannya ini, Hamka diminta pertimbangan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kalangan ummat Islam. Posisi dapat menempatkan Hamka sebagai “anak emas” Jepang. Tentunya tidak dapat untuk dipungkiri keadaan ini membuat Hamka menjadi tersisih dalam pandangan masyarakat Medan, tertama organisasinya Muhammadiyah. Kritikan yang bernada sumbang sering ia terima, sehingga membuat Hamka membuat satu istilah dengan keadaan ini dengan sebutan “lari malam” dari kota Medan.
Akhirnya pada tahun 1945, Hamka meninggalkan kota Medan kemudian ia menetap kembali di kota Padang Panjang. Kedatangan Hamka di Padang Panjang disambut gembira oleh sahabat-sahabatnya, dan kepemimpinan Kulliyatul Muballighin kembali diserahkan kembali kepada Hamka. Konsentrasinya sekarang terpusat terhadap pengelolaan sekolah ini, peluang untuk memulai kembali menulis karya-karya yang digemari oleh masyarakat berangsur ia tekuni. Sehingga pada masa ini sampai terbit buku-bukunya; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minang Kabau Menghadapi Revolusi dan dari Lembah Cita-cita.
Dalam kurun waktu yang tidak lama semenjak kepulangannya ke Padang Panjang, Hamkapun terpilih menjadi ketua Muhammadiyah dalam Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada tahun 1946. Kedudukannya sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka memperoleh banyak kesempatan untuk berkeliling Sumatera Barat, dengan sekaligus mempunyai tujuan untuk merangsang cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam dalam rangka meneguhkan keutuhan dan persatuan bangsa. Keadaan seperti ini sangat menguntungkan bagi Hamka, sehingga kebolehannya sebagai penulis dan penceramah semakin dikenal. Hamka dipandang sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pejuang kebangsaan.
Ketika agresi Belanda yang pertama meletus pada tahun 1947, Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan wafat  ditembak oleh Belanda, memicu bangkitnya perlawanan bersenjata di Negeri Minangkabau untuk mengusir penjajah Belanda. Maka untuk keperluan membangkitkan semangat perjuangan rakayan Sumatera Barat, dibentuklah sebuah badan yang dikenal dengan nama Front Pertahanan Nasional (FPN). Hamka diberi kepercayaan untuk mengetuai dari sekretaris  FPN tersebut.
Setelah tercapainya gencatan senjata dengan pihak Belanda pada tahun 1949 dan mulailah disusun pemerintahan Republik Indonesia untuk Sumatera Tengah, Hamka sadar bahwa pekerjan yang digagas itu bukanlah hal yang mudah, karena sudah mengarah kepada bidang pemerintahan. Sementara ia hanyalah seorang penulis dan pujangga, disamping sebagai tokoh agama tengah-tengah masyarakat. Namun ia memilih kegiatan itu dengan penuh keyakinan, dan dengan kesungguhannya Hamka terlihat dapat bertahan dengan aktivitasnya itu. Oleh karena itu Hamka berkeyakinan bahwa untuk memudahkan kegiatan-kegiatannya sebagai seorang muballigh dan penulis Islam lalu ia memutuskan untuk mencoba pindah ke Jakarta. Pada tanggal 18 desember 1949, dengan semangat dan keyakinannya Hamka meninggalkan Minangkabau menuju kota Metropolitan.[13]
Ternyata di tempat barunya kota Jakarta,dapat menawarkan kepadanya banyak kemungkinan. Setelah ia berada di ibu Kota beberapa waktu, ia diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Autobiografinya Kenang-Kenagan Hidup di waktu ini juga Hamka mulai menuliskannya. Kota Jakarta juga memberikan kesempatan kepada Hamka pilihan yang baru, yakni kesempatan untuk menjadi seorang politik praktis. Hamka memilih untuk bergabung dengan partai politik Islam yaitu Masyumi.
Terpilihnya Hamka menjadi anggota konstituante dari parta Masyumi diwaktu berlangsungnya pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955, adalah sebagai bukti bahwa kegiatan politik praktis tidaklah sampai menggangu aktivitasnya sebagai seorang muballigh, penulis dan sekaligus pejuang Islam. Karena melalui konstituante Hamka dapat dengan gigih memperjuangkan dan mengedepankan kepentingan Islam. Dalam mengutamakan dan memperjuankan kepentingan Islam itu sendiri sesuai dengan garis kebijakan dari partai Masyumi sendiri Hamkapun tampil dengan membawa usulan untuk mendirikan Negara yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Hamka memiliki pandangan tersendiri tentang Islam di Indonesia, menurutnya Islam adalah pondasi dan falasafah hidup bangsa Indonesia yang sudah tertanam kokoh dalam kebudayaan tradisional. Bahkan di samping itu, Hamka berpendapat, kedudukan Islam begitu kuat berakar dalam perkembangan kebudayaan Indonesia, malah melebihi kesakralan Pancasila yang menjadi motor revolusi  dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya tidak dapat disangkal bahwa perjuangannya untuk mengedepankan pembelaan terhadap agama Islam belum membuahkan hasil, namun ia sudah menunjukkan kegigihannya untuk menegakkan Islam.
Undangan Amerika Serikat pada Hamka pada tahun 1952, saat itu Hamka pejabat di penasehat Departemen Agama. Sejak Hamka berkunjung ke Amerika Serikat, Hamka mempunyai pandangan yang lebih luas dan terbuka terhadap bangsa diluar Islam. Sepulangnya Hamka menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan tentang perjalanannya dengan judul Empat Bulan di Amerika sebanyak dua jilid. Setelah itu aktivitas Hamka semakin banyak, dengan ditunjuknya Hamka menjadi anggota missi kebudayaan ke Muangthai pada tahun 1953, berselang satu tahun Hamka mewakili Departemen Agama untuk amenghadiri peringatan mangkatnya Budha ke 2500 di Burma pada tahun 1954, dilanjutkan dengan menghadiri Konprensi Islam di Lahore tahun 1958, tidak sampai disitu kegiatan lawatannya, bahkan ia memenuhi undangan Universitas Al-Azhar Kairo dalam rangka memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Pada gilirannya penampilan Hamka itu membuahkan hasil gelar Doktor Honorius Causa.
Perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, ditambah dengan dikeluarkannya Dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Soekarno, yang menegaskan Indonesia melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin. Di mana permulaan Dekrit ini dikeluarkan masih mempunyai pengertian memlihara demokrasi yang dipimpin oleh UUD 1945. Namun pengaruh yang kuat dari Partai Komunis Indonesia, demokrasi terpimpin mulai berobah karena diselewengkan dengan perlahan, sehingga Pancasila dan UUD 1945 hanya semboyan kosong belaka, isinyapun diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis).
Sebagai seorang tokoh masyarakat dan agama, Hamkapun tidak luput dari hasutan. Ia dituduh menggagas rapat gelap menyusun rencana membunuh presiden Soekarno. Kemudia untuk memojokkan Hamka pada situasi yang sulit, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan badan kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai pelagiator karya Mustafa Lutfi  al-Manfaluti[14]
 Semakin lama pengaruh PKI semakin meningkat dan Soekarno benar-benar dalam kekuasaannya. Atas tuduhan merencanakan pembunuhan presiden itu, Hamka lalu ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara. Di dalam tahanan, bakatnya tidak pernah padam, sehingga ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar dan disusul dengan karya yang lain yakni Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. [15]
Belajar dari pengalaman pahit yang dialami Hamka, seperti yang dijelaskan diatas.  Hamkapun mengambil sebuah keputusan untuk memusatkan perhatiannya untuk kegiatan-kegiatan siar Islam.  Kemudian ia jadi pimpinan pada majalah Panji Masyarakat dan sekaligus menjadi imam besar Masjid Al-Azhar, Hamka juga sering dipercaya sebagai wakil pemerintahan Indonesia dalam pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti konferensi Negara-negara Islam yang dilaksanakan di Rabat pada tahun 1968, kemudian Muktamar Masjid yang digelar di Makkah pada tahun 1971, seminar Tentang Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, dilanjutkan dengan Upacara Peringatan Seratus Tahun Muhammad Iqbal bertempat di Lahore dan mengikuti Konfrensi Ulama di Kairo tahun 1977.
Aktivitas yang begitu banyak yang dilaksanakannya itu dijalani sebagian besar disaat usianya sudah mulai tua, tentu akan berdampak kepada terganggunya kesehatan Hamka sendiri, sehingga Hamka masuk rumah sakit menjelang hari peringatan ulang tahunnnya yang ke-70 tahun, bertepatan pada tanggal 16 Februari 1978. Dengan perawatan yang maksimal tentunya, kesehatan Hamka mulai pulih, lalu Hamka pulang kerumah dan lebih banyak menunggu orang-orang datang kerumahnya untuk bertukar pikiran tentang persoalan kehidupan dan masalah-masalah agama.
Dua tahun menjelang wafatnya, Hamka sejak tahun 1975 menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia mengundurkan diri. Sebab dari mundurnya Hamka dari jabatannya adalah perayaan Natal bersama antara Umat Kristen dan penganut Umat lainnya termasuk agama Islam. Sementara pada waktu itu Majelis Ulama  Indonesia  yang dipimpin oleh Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan Natal.
Pada gilirannya fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama yang dijabat oleh Alamsyah ratu Perwiranegara. Dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama akan mengundurkan diri bila fatwa dari Majelis Ulama itu tidak dicabut.[16] Namun Hamka mempunyai pandangan, bahwa Menteri Agama tidak perlu untuk mengundurkan diri dari jabatannya, sebab dari penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pelarangan Natal bersama tesebut. Untuk itulah Hamka sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia mencabut fatwa itu dari peredarannya. Pencabutan fatwa itu, sebagaimana yang dituliskan Hamka dalam suratnya tanggal 18 Mei 1981 yang dibacakan dalam rapat Majelis Ulama Indonesia pada tanggal yang sama, tidak serta-merta mengandung makna bahwa pembatalan terhadap fatwa yang sudah dikeluarkan.
Dua bulan setela Hamka mengundurkan diri dari ketua Majelis Ulama Indonesia, ia kembali masuk rumah sakit akibat serangan jantung yang cukup berat. Lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di rumah sakit Pertamina Jakarta Pusat, yang ditangani oleh dokter ahli. Namun usaha yang maksimal yang dilakukan oleh para dokter ahli dengan mengerahkan semua kemampuannya, rupanya Allah berkehendak lain. Pada tanggal 24 Juli 1981 bersamaan dengan tanggal 22 Ramadhan 1401 H, ditemani oleh istrinya Khadijah dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka berpulang kerahmatullah dalam usia 73 tahun. [17]
C.    Pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amarullah Tentang Pendidikan
           Buya HAMKA adalah sosok manusia atau aset Negara Republik Indonesia yang multiperan. Selain sebagai ulama dan pujangga, ia juga seorang pemikir. Diantara buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut HAMKA, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.  Buya HAMKA membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajar­an Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[18]
Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah sebagai berikut :
1.      Urgensi Pendidikan Bagi Manusia
Hakekat pendidikan menurut beliau terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuh kembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.
2.      Terminologi dan tujuan Pendidikan Islam
Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.  Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[19]
Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Buya Hamka juga berpendapat bahwa: ”berdasarkan akalnya manusia dapat menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu fungsi pendidikan tidak hanya sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik saja, akan tetapi proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan dimana tempat ia berada.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik.
3.      Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa’at bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab :
a.        Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
Dalam Islam keluarga dikenal sebagai usrah, dan nasb. Keluarga juga dapat dipeoleh lewat persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Al-Quran:[20]
Hal ini diperaktekkan Nabi dalam sunnahnya. Diantara orang yang dahulu beriman dan masuk islam adalah Anggota keluarganya, yaitu: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harisah.[21]
b.       Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah)
Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan dengan sengaja, berencana, sistematis, dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[22]
c.        Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
Lembaga pendidikan Non Formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tida,k mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian tersebut diatas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal itu kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga Sekolah.[23]
Adapun Syarat-Syarat menjadi Seorang Guru menurut Hamka demi mewujudkan pendidikan yang ideal adalah sebagai berikut:[24]
a.       Adil dan objektif.
b.      Berakhlakul karimah.
c.       Menyampaikan ilmu tanpa ada yang ditutupi.
d.      Menghormati keberadaan murid sebagai manusia yang dinamis.
e.      Memberikan ilmu sesuai dengan tempat waktu kemampuan dan perkembangan jiwa.
f.       Memperbaiki akhlak dengan bijaksana.
g.      Membimbing sesuai dengan tujuan pendidikan.
h.      Memberikan bekal ilmu agama &umum.
i.        Mengajari hidup teratur.
j.        Ikhlas dan tawadhu’.
k.      Membiasakan diri untuk membaca.
4.    Kurikulum
Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional , yang berkisar pada al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku disitu saja. Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman , sehingga tergerak hati Hamka dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab[-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Sebagai rencana pelajaran yang merupakan bentuk usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari 4 kelompok, yaitu :
1.      Agama, yang mencakup :
a.       Tafsir Al Quran
b.      Hadits & Mushtkahah Hadits
c.       Fiqih dan Ushul fiqih
d.      Tauhid Islam
e.       Tarikh Tasyri’ Islamy
f.       Tauhid / Ilmu Kalam
g.      Akhlak dan tasawuf
2.      Bahasa, dengan kajian :
a. Bahasa Arab dengan alat-alatnya ,yakni Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Mantiq (logika), Insya’, Tarjamah, Muhawarah, Khithabah dan Khath.
b.      Bahasa Belanda
c.       Bahasa Inggris
3.      Pengetahuan Umum, meliputi :
a.       Berhitung / Aljabar
b.      Ilmu Ukur (Handasah)
c.       Ilmu Bumi (Geografi)
d.      Ilmu Alam
e.       Ilmu Hayat (Hewan & Tumbuh-tumbuhan)
f.       Sejarah umum dan tanah air
g.      Ilmu Falak
4.      Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
a.       Iilmu mengajar dan mendidik ( At Tarbiyah watta’lim)
b.      Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak
c.       Muqaranah Al Adyan ( Perbandingan Agama)
d.      Organisasi dan Administrasi Muhamadiyah
e.       Muhadharah atau pidato[25]
5. Sistem dan Metode Pembelajaran
     Pertama Menurut Hamka metode secara umum diantaranya:[26]
a.      Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
b.       Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial. 
c.   Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.
   Adapun yang Kedua, metode Islami, di antaranya:
a.    Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbua  jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan pergaulan hidup lebih sentosa.
b.    Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.[27]
6. Evaluasi Pendidikan  
Evaluasi adalah menentukan tarap kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan Islam atau tahap akhir yang dilakukan dalam proses pendidikan, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar uantuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan. Pandangan  Buya Hamka dalam evaluasi seperti para tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni mengarah pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugas, seperti yang terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini merupakan  evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syur(perasaan) sebagai barometernya sehingga peserta didik itu mampu menjadi hamba Allah atau khalifah fil-Ardh di muka bumi Allah ini.

D.    Relevansi Pendidikan Haji Abdul Malik Karim Amarullah Pada Era Global Saat ini
          Pendidikan adalah bahagian dari pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan serta memperbaiki akhlak peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh dan terbaik diantara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memilki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis, atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.
        Kalau kita baca dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dijelaskan bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Dan dijelaskan pula bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah,dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama.[28]
         Hakikat  pendidikan yang dikemukakan oleh Hamka sangat dapat diterapkan di zaman sekarang ini, yakni pendidikan agama dan pendidikan umum saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dari mulai tingkat Pendidikan Dasar hingga ke tingkat Pendidikan Tinggi.

E.      
F.     Karya-Karya  Haji Abdul Malik Karim Amarullah Tentang Pendidikan
     Sebagai salah seorang tokoh sekaligus ulama yang terkenal, serta politisi, wartawan dan termasuk salah satu tokoh pembaharuan Islam, Hamka termasuk memiliki jadwal yang padat. Walaupun demikian, aktivitas menulisnya terus berlanjut bahkan ia dikenal sebagai tokoh intelektual muslim yang produktif. Yaitu dengan banyak menelurkan  karya tulis, yang sampai hari ini tetap menjadi bahan bacaan dan pedoman, bahkan rujukan bagi penelitian ilmiah lainnya.
   Menurut sejarahnya Hamka telah menulis buku sebanyak 113 buku, yang meliputi bidang agama, filsafat, dan sastra. Diantara karya-karya yang di tulis oleh Hamka ada enam tulisannya yang berbentuk sastra. Antara lain sebagai berikut:
1.             Margaretta Gauthier, (terjemahan dari karya Alexander Duma Jr), 123  halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan yang ke tujuh tahun 1975.
2.             Kenang-kenangan Hidup, terbagi dalam empat jilid buku, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke tiga, tahun 1975.
3.             Di Dalam Lembah Kehidupan, (Kumpulan Cerita Pendek), 203 halaman, Penertbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan kesembilan, tahun 1976.
4.             Merantau ke Delli, 153 halaman, yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan yang ketujuh 1977.
5.             Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, 223 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetaka ke tiga puluh dua, tahun 2010.
6.             Di Bawah Lindungan Ka’bah, 66 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke tiga puluh satu tahun 2010.
Sebagai bentuk perwujudan produktifitasnya, maka di dalam tulisan ini penulis cantumkan karya-karyanya dalam bentuk non sastra, sebagai berikut:
1.             Lembaga Budi, 126 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan ke sepuluh, tahun 2001
2.             Lembaga Hidup, 335 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan kedua Belas, tahun 2001
3.             Dari Perbendaharaan Lama, 171 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan ke tiga, tahun 1994  Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Penerbit Tintamas, Jakarta, tahun 1961.
4.             Filsafat Hidup, 303 halaman, Penerbit Djaya Murni, Jakarta, Cetakan Ketujuh tahun 1962.
5.             Lembaga Hikamat, terdiri dari 155, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan yang Keempat tahun 1966.
6.             Dari Lembah Cita-cita, sebanyak 155 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Keempat, tahun 1967.
7.             Antara Fakta dan Hayal “Tuanku Rao”, 363 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Pertama, tahun 1974.
8.             Tanya Jawab I, sebayak 98 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kedua 1975.
9.             Tanya Jawab II, sebanyak 104 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kedua tahun 1975.
10.         Bohong di Dunia, terdiri dari 100 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Ketiga, tahun 1975.
11.         Sejarah Umat Islam, terdiri dari empat jilid buku. Jilid pertama sebanyk 268 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kelima tahun 1975, sedangkan jilid yang kedua sebanyak 278 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Keempat pada tahun 1975, jilid ke tiga sebanyak 340 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Ketiga, pada tahun 1975. Sementara jilid yang keempat sebanyak 338 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kedua, pada  tahun 1976.
12.         Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, 243 halaman, Penerbit Nurul Islam, Jakarta, Cetakan  tahun 1980.
13.         Tasauf Modren, 246 halaman, Penerbit Yayasan Nurul Islam, Jakarta, Cetakan Keenam 1981.
14.         Ayahku, sebanyak 361 halaman, Penerbit Ummida Jakarta, Cetakan Keempat, tahun 1982.
15.         Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberaniaan, Penerbit Yayasan Idayu, Jakarta, tahun 1983.
16.         Tafsir Al-Azhar, sebanyak 30 juz, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, tahun 1984.
17.         Pelajaran Agama Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1984.
18.         Islam dan Adat Minangkabau, Penerbit Pustaka Panjima, Jakarta, tahun 1985.
19.         Renungan Tashauf, sebanyak 131 halaman, Penerbit Pustaka PanJjimas, Jakarta, Cetakan Pertama, tahun 1985.
20.         Iman dan Amal Shaleh, terdiri dari 144 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, Cetakan Ketiga, tahun 1986.
PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Haji Abdul Malik Karim Amrullah  (HAMKA) adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan memiliki visioner yang mampu meramal   masa depan. Pemikirannya tidak hanya berkala di zamannya, namun masih sangat konstektual di masa kini, produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa yang akan dating itu terbukti sampai saat ini pemikiran beliau masih dipakai dan dijadikan rujukan oleh para Tokoh-tokoh atau cendekiawan khususnya ummat Muslim Indonesia dan Mancanegara.
     Menurut Beliau, dalam dunia  pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat johiriyah saja (jasmani). Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang. Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik Inshaallah akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis dan fenomena alam semesta ini. Yang pada hakikatnya pendidikan Islam menurut Beliau merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
B.     Saran
     Akhirnya, untuk Allah SWT jualah semua pengabdian, hidup dan mati kami. Semua ide dan gagasan baik yang ada dalam makalah ini adalah miliknya, dan semua khilaf yang mungkin ada dalam makalah ini adalah milik kami sendiri, dan kepada pembaca kami mohon kritik dan sarannya yang konstruktif, sekiranya ada dalam makalah ini banyak salah dan janggal yang harus diperbaiki dikesempatan berikutnya.

Wallahu A’lam Bisshawab







DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya: Usaha nasional)

Amarulloh.Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.(Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun)

Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta : Gagas Media, 2011

Daliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983)

H.Rusdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. D. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)

Hamka, Ayahku,  (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982)

Zainuddin Roesmar, Tuntunan  Dakwah Dalam Masyarakat Pluralistik Persfektif Metode Dakwah Hamka, (Pekanbaru: Unri-Press, 2002)

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1982)

Junus Amir Hamzah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Dalam Polemik, (Jakarta: Megabookstre,1963)

Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985)

Muhammad Husein haekal, Hayed Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Jakarta: Lintera Antar Nusa, 1993)

Ramayulis & Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,2009)

Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005)

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), 2008

Ramdani Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Illahi, 2005)

Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

UU-RI No. 20 Tahun 2003,  Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Pustaka Nusantara, 2003)
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990)





[1] Hamka, Ayahku,  (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), h. 55, lihat juga, Zainuddin Roesmar, Tuntunan  Dakwah Dalam Masyarakat Pluralistik Persfektif Metode Dakwah Hamka, (Pekanbaru: Unri-Press, 2002), h.24
[2]H.Rusdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. D. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h.2
[3] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h.33-34
[4]Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1982), h. 21
[5] Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985), h. 73
[6] Hamka, Op.cit, h. 37.
[7]Hamka, Ibid, h. 37.
[8] Hamka, Lop.cit, h. 56.
[9] Hamka, Ibid, h.101.
[10] Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta : Gagas Media, 2011), h.208
[11] Hamka, Lop Cit, h.57.
[12] Hamka, Ibid, h.126
[13] Hamka, Ibid, h. 292.
[14]Junus Amir Hamzah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Dalam Polemik, (Jakarta: Megabookstre,1963), h.23
[15]Hamka, Lop. Cit,h. 13
[16] Daliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), h.150.
[17] Rusdi Hamka, Op.cit, h. 230.
[18] Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 230
[19]Ramdani Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Illahi, 2005), h.265
[20] QS. Al-Tahrim : 6
[21] Muhammad Husein haekal, Hayed Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Jakarta: Lintera Antar Nusa, 1993, h. 189
[22] Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya: Usaha nasional), h. 167
[23] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), 2008, h. 283
[24] Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 272-273

[25] Amarulloh.Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.(Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun), hal 60-61
[26] Ibid, hal. 281-282

[27] Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus, Op. Cit, h. 246
[28] UU-RI No. 20 Tahun 2003, 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, PT. Pustaka Nusantara, h.