PEMIKIRAN PENDIDIKAN
HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
(HAMKA)
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi
Tugas Individu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu
Dr.
Salmaini Yelli, M.Ag
Oleh :
MADAYANSYAH
TAMBUNAN
NIM : 21491106341
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
PEKANBARU
2015 M/1436 H
PEMIKIRAN PENDIDIKAN
HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
(HAMKA)
Bismillahirrahmanirrahim
A. Biografi Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Abdullah bin Abdul Karim Amrullah atau Hamka,
lahir di Sungai
Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 16 Februari 1908 dari keluarga yang
taat beragama.[1]
Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji rasul, seorang
ulama yang pernah mendalami Islam di Makkah dan pelopor kaum mudo dan tokoh
Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung.[2]
1
|
Selanjutnya pada tahun 1918, disaat Hamka sudah
dihitan dikampung halamannya Maninjau, dan diwaktu yang sama pula ayahnya
Syeikh Abdul Karim Amrullah, kembali dari tanah jawa. Kemudian di
surau Jembatan Besi, tempat Syeikh Abdul Karim Amrullah memberikan proses
pendidikan agama dengan metode lama, dirobah menjadi madrasah yang kemudian
dekenal dengan Thawalib School. Tentunya dengan keinginan kelak anaknya jadi
ulama sesuai dengan harapannya. Syeikh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke
Thawalib School yang diiringi Hamka harus berhenti dari sekolah Desa.
Dalam perkembangan awalnya Thawalib School ini masih
belum mampu melepaskan diri dari cara-cara lama dalam proses pembelajaran
agama. Kendatipun demikian bagian dari perobahan sudah mulai tampak mewarnai
lembaga pendidikan ini. Malah menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi yang
sejak dulu memberikan pelajaran agama dengan pola lama, merupakan surau pertama
yang memprgunakan sistem klasikal.[5]
Sekalipun sistem yang menerapkan menghafal ini
yang membuat Hamka cepat bosan dan memusingkan kepalanya sendiri.
Kondisi dengan pola belajar seperti di atas tidak
menarik bagi Hamka, mengakibatkan keseriusannya untuk belajar tidak tumbuh dari
dalam hatinya, namun terpaksa dari kehendak ayahnya. Keadaan inilah yang
membuat Hamka betah berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi
dan Bagindo Sinaro. Hamka menjadi asik di perpustakaan ini mendalami buku-buku
cerita dan sejarah. Perpustakaan tersebut yang diberi julukan dengan nama
Zainaro, menumbuhkan semangat tertntu bagi Hamka. Tekanan hati yang
dirasakannya seolah mendapat tempat pelarian di perpustakaan ini. Ide yang
polos dari seorang anak-anak dapat berkembang dan tumbuh, namun seiring dengan
pertumbuhan idenya itu, tidak serta merta mendapat mendapat dukungan dari
ayahnya, sampai ayahnya pernah mengucapkan kata
“Apakah engkau akan menjadi orang alim atau hanya akan menjadi tukang cerita”,
kritikan ini ia dapatkan ketika tertangkap basah sedang asik membaca di
perpustakaan.
Di usianya yang ke 12 tahun, adalah merupakan
goncangan jiwanya yang cukup berat. Hal demikian dikarenakan perceraian ayah
dan ibunya yang tidak terbantahkan. Karena demikianlah suatu keharusan menurut adat. Suatu hal yang sangat mungkin bahwa
peristiwa ini yang kemudian dapat membentuk sikap Hamka yang memandang peraktek
adat tidak sesuai ajaran agama Islam. Adat, terutama adat kawin cerai, yang
tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas, menurut Hamka, “Seumpama
batu yang sudah berlumut sudah masanya untuk di simpan”. [6]
Setiap ketetapan yang dijalankan didalam adat, serta
terlalu mudahnya dalam menafsirkan tentang kebolehan untuk berpoligami,
kendatipun bedalih merupakan ajaran Islam dan sudah tertanam dalam pemikiran
orang Minangkabau. Pemahaman yang demikian, akan memberikan kemungkinan yang
luas bagi para ulama, sebagai seorang yang terpandang di tengah masyarakat,
untuk mendapatkan pembenaran melakukan kawin cerai dengan berulang-ulang.
Kenyataan ini pula yang didapatkan oleh Hamka dalam keluarganya, yang berujung
pada si Hamka kecil, menjadi anak “tinggal”, yang pada gilirannya dapat
membentuk “kenakalan” dalam keseharian Hamka.[7]
Kenyataan yang demikian membuat Hamka merasa ingin
jauh dari kehidupan ayahya. Keinginan yang besar untuk pergi ke tanah Jawa, sebagai
akibat dari pemahamannya yang didapat sebagai bentuk informasi di perpustakaan
Zainaro. Hamka mengambil keputusan yang boleh dibilang nekat, berangkat ke
tanah Jawa seorang diri. Tapi kenyataan tidak semulus yang dibayangkan,
pelariannya terhenti di Bengkulu karena ia terkena penyakit cacar. Sampai dua
bulan lamanya Hamka berada di pembaringan. Setelah sembuh ia kembali pulang ke
Padang Panjang dengan tubuh dan wajah dipenuhi bekas cacar. Kegagalan ini tidak
membuat Hamka putus asa, setahun kemudian, tanpa dapat dihalangi oleh ayahnya,
Hamka berngkat kembali untuk yang kedua kalinya menuju tanah Jawa pada tahun
1924.
Hamka menetap di tanah Jawa relatif singkat, kurang
lebih dari satu tahun, menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan ”semangat
baru” baginya dalam
mempelajari agama Islam. Musafir dalam rantau dalam pencarian ilmu ia mulai dari kota Yogyakarta, dimana kota
tersebut merupakan tempat lahirnya organisasi Muhammadiyah. Melalui Ja’far
Amrullah, pamannya, Hamka kemudian memperoleh kesempatan mengikuti
kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam
perjalanannya ia juga bertemu dengan Hos Tjokroaminoto dan menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada Hos
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan K.H. Fakhrudin. Saat
itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi
Dharmo Pakualaman, Yogyakarta. Tidak hanya sampai disitu, Hamka juga mendengar langsung ceramahnya tentang Islam dan
Sosialisme. Disamping itu ia berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh
penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal.[8]
Dalam perantauannya mengisaratkan bahwa Yogyakarta mempunyai makna tersendiri
dalam pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Hamka sebagai seorang pejuang dan
penganjur Islam. Dimana kota tersebut telah memberikan sesuatu dalam mendorong
kesadaran keagamaan Hamka dan memperkokoh semangat kepemudaannya, meskipun
belum dapat dilepaskannya secara keseluruhan sifat kekanak-kanakannya. Namun ia
sudah dipandang sebagai pemuka diantara
rekan-rekannya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di Yogyakarta Islam itu sebagai
sesuatu yang hidup, yang mengedepankan kedinamisan dalam pendirian dan
perjuangan.
B. Aktivitas Buya Hamka
Setelah
malang-melintang musafir dan belajar di Yogyakarta, semangat keislaman yang
tertanam dalam hatinya bermanifestasi dengan bentuk gerakan-gerakan sosial dan
politik serta agama di Yogyakarta, dapat membuat Hamka terlarut didalamnya.
Sebagaimana yang diceritakannya sendiri, ia pernah ikut serta dalam keramaian
peringatan maulid Nabi yang sangat meriah, yang dalam perhelatan besar itu
berbaris sambil mengibarkan bendera-bendera yang bertuliskan “Al-Islam” yang
berwarna hijau. [9]. Sikapnya
yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan
berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan
sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.[10]
Tumbuhnya
kesadaran baru dalam memandang wajah Islam yang diperolehnya di Yogyakarta,
kemudian beriring dengan pengukuhannya di saat ia berada di Pekalongan, selama
lebih kurang enam bulan. Dari kedekatannya dengan menantu ayahnya AR Sutan
Mansur yang menetap di Pekalongan, dapat memberinya ruh perjuangan dalam
mempertahankan kemuliaan hidup. Sejak saat itu Hamka meyakinkan dirinya untuk
aktualisasi hidupnya sebagai seorang pemegang amanah Allah dan penyampai
risalah agama Islam. Dalam usia yang terbilang muda, 17 tahun, Hamka mampu
berpidato dimana-mana dengan landasan gelora dari semangatnya yang baru.
Disamping itu,
ada suatu hal yang dijumpainya di Yogyakarta yakni faham komunis yang
sebenarnya. Perbandingannya adalah faham komunis yang ada di tanah Jawa dengan
faham komunis yang dikembang luaskaan oleh Haji Datuk Batuah Thawalib Padang
Panjag. Dari penilaiannya Hamka dapat menyimpulkan bahwa komunis yang tersebar
di Minangkabau bukanlah faham komunis yang sebenarnya. Kemudian ia mengabadikan
penilaiannya itu dengan tulisan “komunis yang tersebar di Sumatera Barat itu
bukanlah faham komunis, kerasnya sikap dan kritik mereka terhadap pemerintahan
kolonial Belanda dengan mengiringi kritikan itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits, itulah yang sering didengarnya sebagai bentuk yang terang dalam
pendirian yang terang-terangan dari Syarikat Islam dan menjadi pembicaraan
dikalangan Muhammadiyah. Jadi komunis Sumatera Barat adalah Islam, karena dari
dasar kurangnya pengetahuan dan penyelidikan lalu terperosot kedalam kubangan
komunis, disamping pandangan umum ketika itu yang dikatakan komunis adalah
masyarakat yang anti terhadap kolonial belanda.
Dengan memiliki
modal intelektual dan semangat
pergerakan seperti yang digambarkan di atas, Hamka kembali ke Minangkabau. Sejak itu ia mulai memperbaiki dan
menyempurnakan arah yang dipilihnya sebagai seorang tokoh sekaligus ulama dalam
arah perkembangan pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia yang semakin
pesat. Dalam usianya yang masih 17 tahun diwaktu kembali ke Minangkabau dalam
perjalanannya dari tanah Jawa, seiring dengan waktu Hamkapun telah tumbuh
menjadi seorang yang dewasa, detengah-tengah lingkungannya. Ia mulai berani
untuk tampil berpidato, bertabligh dikalangan masyarakat Minangkabau yang telah
melahirkan dan membesarkannya. Ia pun mulai membuka kursus pidato bagi
teman-teman sebayanya di Surau Jembatan Besi. Kemampuan dasar alami yang
dimiliki oleh Hamka dalam mengolah dan menyusun kata-kata, baik dalam berorasi
maupun dalam menulis, mampu mengantarkan Hamka pada tempat yang diistimewakan
dikalangan teman-temannya. Ia kreatif dalam membukukan serta menyusun ulang
pidato teman-temannya dan kemudian
diterbitkan dalam bentuk majalah yang dipimpinnya yang diberi nama Khatibul
Ummah. [11]
Dalam
kenyataannya jalan yang mulai perlahan diretas oleh Hamka, bukanlah tanpa
hambatan dan tantangan. Bahkan ungkapan yang tidak bersahabat itupun datang
dari teman-temannya dan kalangan masyarakat Minangkabau, yang dianggap memiliki
latar belakang pendidikan dan pemahaman keagamaannya yang didasari oleh
kefasihan ilmu Nahwu dan Sharaf, mereka beranggapan bahwa Hamka tidak mempunyai
kelebihan. Seperti yang diungkapan mereka bahwa Hamka hanyalah seorang “tukang
pidato” saja. Hamka bukanlah ahli agama atau alim, bahkan ia tidak mempunyai
modal yang kuat sebagai seorang ulama, yakni tidak dapat memahami sejara
mendalam ilmu Bahasa Arab.
Dalam anggapan
masyarakat bahwa Hamka belum memiliki modal dasar yang harus dikuasai layaknya
sebagai seorang ulama. Menurut masyarakat Minangkabau, Hamka memang pandai,
namun kemahirannya seperti yang disebutkan oleh ayahnya, “cuma pandai menghafal
syair, bercerita masalah sejarah, seperti seekor burung beo”. Pada kenyataannya
ungkapan miring dalam bentuk kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat
menimbulkan pukulan tersendiri dalam semangat Hamka. Dimana kenangan pahit
diwaktu ia masih kecil dalam perasaannya seakan terulang kembali. Apalagi
disaat Hamka mengetahui bahwa, gadis tunangannya telah menikah dengan pemuda
lain. Pukulan kritikan yang
menimbulkan rasa teraumanya dimasa kecil menjadi salah satu faktor Hamka
membulatkan tekatnya untuk mengambil sebuah keputusan untuk pergi ke Makkah,
boleh dikatakan suatu bentuk tempat pelarian yang kedua kalinya atas sikap kurang
pedulinya keluarga dan ayahnya terhadap mental dan nasib Hamka.
Dengan memulai
hidup di Kota Makkah, aktivitasnya sebagai seorang pergerakan yang telah
tertanam kokoh dalam jiwanya semenjak tinggal di Yogyakarta, membuat Hamka
tidak tinggal diam. Semenjak ia berangkat dari tanah air pada bulan Februari
1927, menjelang pelaksanaan ibadah haji, Hamka bersama dengan beberapa calon
jamaah haji lainnya sempat mendirikan sebuah wadah organisasi yang bernama Persatuan
Hindia Timur. Organisasian ini mempunyai tujuan untuk memberikan pelajaran
agama, terutama manasik haji, terhadap para calon jamaah haji dari Indonesia.
Dilain hal,
dalam mewujudkan keinginannya besama teman-teman di organisasi dalam memberikan
pelajaran agama dalam manasik haji, harus mendapatkan izin dari Amir Faisal.
Dengan kemampuan berbahasa Arab yang pas-pasan, Hamka memberanikan diri untuk
tampil sebagai ketua delegasi untuk menghadapi Amir tersebut.[12]
Ini merupakan sebuah keberanian yang sangat langka di kalangan calon jamaah
haji asal Indonesia.
Dilain masa,
Hamkapun telah menyelesaikan berbagai macam aktivitasnya di kota Makkah. Tentu
waktunya untuk pulang ke kampung halaman, dengan menyandang gelar, suatu nama
yang menjadi sebuah legitimasi sebagai seorang ulama dalam pandangan masyarakat
Minangkabau. Hamkapun seolah memberikan penjelasan bahwa kehadirannya ditengah
berbagai macam perkembangan pemikiran keagamaan di Minangkabau. karean
sebelumnya Hamka dianggap tidak mempunyai kemampuan yang layak, sekarang sudah
menjadi seorang anak yang siap untuk menggantikan keulamaan ayahnya, yakni
Syeikhk Abdul Karim Amrullah.
Meskipun
berbekal dengan harapan masyarakat dan keluarga, bahwa Hamka siap dalam
menggantikan keulamaan ayahnya. Namun hal tersebut tidak dapat mengubah arah
keinginan yang sudah tertanam dalam jiwa Hamka sebagai seorang pergerakan. Dan
dalam hal itu, beberapa waktu setelah ia menikah dengan Siti Rahmah, ia mulai
aktif sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Bahkan tidak hanya
sampai disitu aktivitasnya, iapun dipercaya sebagai pimpinan sekolah yang
diberi nama Tabligh School.
Secara
berangsur-ansur, pengukuhan Hamka sebagai tokoh dan penyampai ajaran agama
Islam secara pasti ia mantapkan. Pada tahun 1929
Hamka menjadi guru agama di Padang Panjang. Setelah itu diwaktu kongres Muhammadiyah ke 19 yang
berlangsung di Bukit Tinggi pada tahun
1930, Hamka tampil pembicara dengan judul Agama Islam dan Adat Minangkabau.
lalu ketika Muktamar ke 20 digelar di Yogyakarta pada tahun 1931, Hamkapun
kembali tampil sebagai pembicara dengan ceramah yang berjudul Muhammadiyah
di Sumatera. Setahun kemudian, atas kepercayaan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Hamka diutus ke Makasar menjadi muballigh. Pada tahun 1933 ia
menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang, dan pada tahun 1934 ia diangkat
menjadi anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Setelah Hamka
pulang dari Makasar, iapun mendirikan Kulliyatul Muballighin di Padang
Panjang, di samping ia aktif
menjadi seorang muballigh. Kemudian pada tahun 1936 Hamka pindah ke Medan. Di
kota ini Hamka berkiprah bersama dengan M. Yunan Nasution dan sami menerbitkan
majalah Pedoman Masyarakat, menurut M. Yunan Nasution penerbitan majalah
ini dapat memberikan andil yang tidak sedikit bagi perkembangan pengarangan dan
pujangga Hamka di masa akan
datang. Secara berangsur karya-karyanyapun mulai diterbitkan, seperti Di
Bawah Lindungan Ka’bah, Pedoman Muballigh Islam, Teggelamnya Kapal Van Der
Wijk, Tasawuf Moderen,
Filsafat Hidup, Merantau ke Deli dan
Tuan Direktur.
Waktu tentara Jepang berhasil mendarat di kota Medan pada
tahun 1942, kehadiran Jepang tentunya berdampak terhadap aktivitas masyarakat,
termasuk didalamnya kegiatan Hamka. Salah satu contohnya majalah Pedoman
Masyarakat dihanguskan. Bendera kebanggaan Indonesiapun tidak boleh dinaikkan lagi. Hampir semua masyarakat kecewa
dengan keadaan ini. Namun walaupun demikian, Hamka masih mendapat kedudukan
yang istimewa dalam pemerintahan jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka
masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai, Dewan
Perwakilan Rakyat yakni pada tahun 1944. Dalam kedudukannya ini, Hamka diminta
pertimbangan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul
dari kalangan ummat Islam. Posisi dapat menempatkan Hamka sebagai “anak emas”
Jepang. Tentunya tidak dapat untuk dipungkiri keadaan ini membuat Hamka menjadi
tersisih dalam pandangan masyarakat Medan, tertama organisasinya Muhammadiyah. Kritikan yang bernada sumbang
sering ia terima, sehingga membuat Hamka membuat satu istilah dengan keadaan
ini dengan sebutan “lari malam” dari kota Medan.
Akhirnya pada
tahun 1945, Hamka meninggalkan kota Medan kemudian ia menetap kembali di kota
Padang Panjang. Kedatangan Hamka di Padang Panjang disambut gembira oleh
sahabat-sahabatnya, dan kepemimpinan Kulliyatul Muballighin kembali diserahkan
kembali kepada Hamka. Konsentrasinya sekarang terpusat terhadap pengelolaan
sekolah ini, peluang untuk memulai kembali menulis karya-karya yang digemari
oleh masyarakat berangsur ia tekuni. Sehingga pada masa ini sampai terbit
buku-bukunya; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi
Agama, Adat Minang Kabau Menghadapi Revolusi dan dari Lembah Cita-cita.
Dalam kurun
waktu yang tidak lama semenjak kepulangannya ke Padang Panjang, Hamkapun
terpilih menjadi ketua Muhammadiyah dalam Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada tahun 1946. Kedudukannya sebagai
ketua Muhammadiyah membuat Hamka memperoleh banyak kesempatan untuk berkeliling
Sumatera Barat, dengan sekaligus mempunyai tujuan untuk merangsang cabang-cabang
Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam dalam rangka
meneguhkan keutuhan dan persatuan bangsa. Keadaan seperti ini sangat
menguntungkan bagi Hamka, sehingga kebolehannya sebagai penulis dan penceramah
semakin dikenal. Hamka dipandang sebagai pemimpin agama dan juga sebagai
pejuang kebangsaan.
Ketika agresi
Belanda yang pertama meletus pada tahun 1947, Wali Kota Padang Bagindo Aziz
Chan wafat ditembak oleh Belanda, memicu
bangkitnya perlawanan bersenjata di Negeri Minangkabau untuk mengusir penjajah
Belanda. Maka untuk keperluan membangkitkan semangat perjuangan rakayan
Sumatera Barat, dibentuklah sebuah badan yang dikenal dengan nama Front
Pertahanan Nasional (FPN). Hamka diberi kepercayaan untuk mengetuai dari
sekretaris FPN tersebut.
Setelah
tercapainya gencatan senjata dengan pihak Belanda pada tahun 1949 dan mulailah
disusun pemerintahan Republik Indonesia untuk Sumatera Tengah, Hamka sadar
bahwa pekerjan yang digagas itu bukanlah hal yang mudah, karena sudah mengarah
kepada bidang pemerintahan. Sementara ia hanyalah seorang penulis dan pujangga,
disamping sebagai tokoh agama tengah-tengah masyarakat. Namun ia memilih
kegiatan itu dengan penuh keyakinan, dan dengan kesungguhannya Hamka terlihat
dapat bertahan dengan aktivitasnya itu. Oleh karena itu Hamka berkeyakinan
bahwa untuk memudahkan kegiatan-kegiatannya sebagai seorang muballigh dan
penulis Islam lalu ia memutuskan untuk mencoba pindah ke Jakarta. Pada tanggal
18 desember 1949, dengan semangat dan keyakinannya Hamka meninggalkan Minangkabau menuju kota Metropolitan.[13]
Ternyata di tempat
barunya kota Jakarta,dapat menawarkan kepadanya banyak kemungkinan. Setelah ia
berada di ibu Kota beberapa waktu, ia diterima sebagai anggota koresponden
surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Autobiografinya Kenang-Kenagan
Hidup di waktu ini juga
Hamka mulai menuliskannya. Kota Jakarta juga memberikan kesempatan
kepada Hamka pilihan yang baru, yakni kesempatan untuk menjadi seorang politik
praktis. Hamka memilih untuk bergabung dengan partai politik Islam yaitu
Masyumi.
Terpilihnya
Hamka menjadi anggota konstituante dari parta Masyumi diwaktu berlangsungnya
pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955, adalah sebagai bukti bahwa
kegiatan politik praktis tidaklah sampai menggangu aktivitasnya sebagai seorang
muballigh, penulis dan sekaligus pejuang Islam. Karena melalui konstituante
Hamka dapat dengan gigih memperjuangkan dan mengedepankan kepentingan Islam.
Dalam mengutamakan dan memperjuankan kepentingan Islam itu sendiri sesuai
dengan garis kebijakan dari partai Masyumi sendiri Hamkapun tampil dengan
membawa usulan untuk mendirikan Negara yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Hamka memiliki
pandangan tersendiri tentang Islam di Indonesia, menurutnya Islam adalah
pondasi dan falasafah hidup bangsa Indonesia yang sudah tertanam kokoh dalam
kebudayaan tradisional. Bahkan di samping itu, Hamka berpendapat, kedudukan Islam begitu kuat berakar dalam
perkembangan kebudayaan Indonesia, malah melebihi kesakralan Pancasila yang
menjadi motor revolusi dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya tidak dapat disangkal bahwa
perjuangannya untuk mengedepankan pembelaan terhadap agama Islam belum
membuahkan hasil, namun ia sudah menunjukkan kegigihannya untuk menegakkan
Islam.
Undangan Amerika
Serikat pada Hamka pada tahun 1952, saat itu Hamka pejabat di penasehat
Departemen Agama. Sejak Hamka berkunjung ke Amerika Serikat, Hamka mempunyai
pandangan yang lebih luas dan terbuka terhadap bangsa diluar Islam. Sepulangnya
Hamka menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan tentang perjalanannya dengan
judul Empat Bulan di Amerika sebanyak dua jilid. Setelah itu aktivitas
Hamka semakin banyak, dengan ditunjuknya Hamka menjadi anggota missi kebudayaan
ke Muangthai pada tahun 1953, berselang satu tahun Hamka mewakili Departemen
Agama untuk amenghadiri peringatan mangkatnya Budha ke 2500 di Burma pada tahun
1954, dilanjutkan dengan menghadiri Konprensi Islam di Lahore tahun 1958, tidak
sampai disitu kegiatan lawatannya, bahkan ia memenuhi undangan Universitas Al-Azhar Kairo dalam rangka memberikan
ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Pada gilirannya
penampilan Hamka itu membuahkan hasil gelar Doktor Honorius Causa.
Perkembangan
politik di Indonesia semakin memburuk, ditambah dengan dikeluarkannya Dekrit
presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Soekarno, yang menegaskan Indonesia
melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin. Di mana permulaan Dekrit ini dikeluarkan masih mempunyai pengertian memlihara demokrasi
yang dipimpin oleh UUD 1945. Namun pengaruh yang kuat dari Partai Komunis
Indonesia, demokrasi terpimpin mulai berobah karena diselewengkan dengan
perlahan, sehingga Pancasila dan UUD 1945 hanya semboyan kosong belaka,
isinyapun diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis).
Sebagai seorang tokoh masyarakat dan agama, Hamkapun tidak luput dari
hasutan. Ia dituduh menggagas rapat gelap menyusun rencana membunuh presiden
Soekarno. Kemudia untuk memojokkan Hamka pada situasi yang sulit, Lembaga
Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan badan kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai
pelagiator karya Mustafa Lutfi
al-Manfaluti[14]
Semakin lama pengaruh PKI semakin
meningkat dan Soekarno benar-benar dalam kekuasaannya. Atas tuduhan
merencanakan pembunuhan presiden itu, Hamka lalu ditangkap dan dimasukkan
kedalam penjara. Di dalam tahanan,
bakatnya tidak pernah padam, sehingga ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar
dan disusul dengan karya yang lain yakni Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.
[15]
Belajar dari pengalaman pahit yang dialami Hamka, seperti yang dijelaskan
diatas. Hamkapun mengambil sebuah
keputusan untuk memusatkan perhatiannya untuk kegiatan-kegiatan siar
Islam. Kemudian ia jadi pimpinan pada majalah
Panji Masyarakat dan sekaligus menjadi imam besar Masjid Al-Azhar, Hamka
juga sering dipercaya sebagai wakil pemerintahan Indonesia dalam
pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti konferensi Negara-negara Islam yang dilaksanakan di Rabat
pada tahun 1968, kemudian Muktamar Masjid yang digelar di Makkah pada tahun
1971, seminar Tentang Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, dilanjutkan dengan
Upacara Peringatan Seratus Tahun Muhammad Iqbal bertempat di Lahore dan
mengikuti Konfrensi Ulama di Kairo tahun 1977.
Aktivitas yang begitu banyak yang dilaksanakannya itu dijalani sebagian
besar disaat usianya sudah mulai tua, tentu akan berdampak kepada terganggunya
kesehatan Hamka sendiri, sehingga Hamka masuk rumah sakit menjelang hari
peringatan ulang tahunnnya yang ke-70 tahun, bertepatan pada tanggal 16
Februari 1978. Dengan perawatan yang maksimal tentunya, kesehatan Hamka mulai
pulih, lalu Hamka pulang kerumah dan lebih banyak menunggu orang-orang datang
kerumahnya untuk bertukar pikiran tentang persoalan kehidupan dan
masalah-masalah agama.
Dua tahun menjelang wafatnya, Hamka sejak tahun 1975 menjadi ketua Majelis
Ulama Indonesia mengundurkan diri. Sebab dari mundurnya Hamka dari jabatannya
adalah perayaan Natal bersama antara Umat Kristen dan penganut Umat lainnya
termasuk agama Islam. Sementara pada waktu itu Majelis Ulama Indonesia yang dipimpin oleh Hamka telah
mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan
Natal.
Pada gilirannya fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama yang
dijabat oleh Alamsyah ratu Perwiranegara. Dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama akan
mengundurkan diri bila fatwa dari Majelis Ulama itu tidak dicabut.[16]
Namun Hamka mempunyai pandangan, bahwa Menteri Agama tidak perlu untuk
mengundurkan diri dari jabatannya, sebab dari penetapan fatwa Majelis Ulama
Indonesia tentang pelarangan Natal bersama tesebut. Untuk itulah Hamka sebagai
ketua Majelis Ulama Indonesia mencabut fatwa itu dari peredarannya. Pencabutan
fatwa itu, sebagaimana yang dituliskan Hamka dalam suratnya tanggal 18 Mei 1981
yang dibacakan dalam rapat Majelis Ulama Indonesia pada tanggal yang sama,
tidak serta-merta mengandung makna bahwa pembatalan terhadap fatwa yang sudah
dikeluarkan.
Dua bulan setela Hamka mengundurkan diri dari ketua Majelis Ulama
Indonesia, ia kembali masuk rumah sakit akibat serangan jantung yang
cukup berat. Lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di rumah sakit Pertamina Jakarta Pusat, yang ditangani oleh dokter ahli. Namun
usaha yang maksimal yang dilakukan oleh para dokter ahli dengan mengerahkan
semua kemampuannya, rupanya Allah berkehendak lain. Pada tanggal 24 Juli 1981
bersamaan dengan tanggal 22 Ramadhan 1401 H, ditemani oleh istrinya Khadijah
dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka berpulang
kerahmatullah dalam usia 73 tahun. [17]
C.
Pemikiran Haji Abdul Malik Karim
Amarullah Tentang Pendidikan
Buya
HAMKA adalah
sosok manusia atau aset Negara Republik Indonesia yang multiperan. Selain sebagai ulama dan pujangga, ia juga seorang pemikir.
Diantara buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pentingnya manusia
mencari ilmu pengetahuan, menurut HAMKA, bukan hanya untuk membantu manusia
memperoleh penghidupan yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu
manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa
berupaya mencari keridhaan Allah. Buya HAMKA membedakan makna
pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian
upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan
kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual
peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[18]
Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah sebagai
berikut :
1.
Urgensi Pendidikan Bagi Manusia
Hakekat pendidikan menurut beliau terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : pertama,
pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan
jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu
pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani
tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuh kembangkan
keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang
paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.
2.
Terminologi dan tujuan Pendidikan Islam
Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha
yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan
kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana
yang buruk. Sedangkan pengajaran
adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan.[19]
Perbedaan kedua pengertian tersebut
sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak
membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling
melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses
pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan
akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses
pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses
pendidikan.
Buya Hamka juga berpendapat bahwa: ”berdasarkan akalnya manusia dapat
menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini dapat dilihat dari sejarah
manusia di muka bumi. Disamping itu fungsi pendidikan tidak hanya sebagai
proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik saja, akan tetapi
proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan dimana tempat ia berada.
Adapun tujuan pendidikan menurut
Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai
tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah.
Oleh karena itu segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat
menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik.
3.
Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Beliau tugas dan tanggung
jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta
didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa’at
bagi kehidupan masyarakat. Untuk
melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab :
a.
Lembaga
Pendidikan Informal (Keluarga)
Dalam Islam keluarga dikenal
sebagai usrah, dan nasb. Keluarga juga dapat dipeoleh lewat persusuan dan
pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan
Islam disyaratkan dalam Al-Quran:[20]
Hal ini diperaktekkan Nabi dalam
sunnahnya. Diantara orang yang dahulu beriman dan masuk islam adalah Anggota
keluarganya, yaitu: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Harisah.[21]
b.
Lembaga
Pendidikan Formal (Sekolah)
Hadari Nawawi mengelompokkan
lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan
pendidikannya diselenggarakan dengan sengaja, berencana, sistematis, dalam
rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan
tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[22]
c.
Lembaga
Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
Lembaga pendidikan Non Formal
adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tida,k mengikuti
peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian
tersebut diatas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal itu kepada semua
bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana
diluar kegiatan lembaga Sekolah.[23]
Adapun Syarat-Syarat menjadi
Seorang Guru menurut Hamka demi mewujudkan pendidikan yang ideal adalah sebagai
berikut:[24]
a.
Adil dan objektif.
b.
Berakhlakul karimah.
c.
Menyampaikan ilmu tanpa ada yang ditutupi.
d.
Menghormati keberadaan murid sebagai manusia yang dinamis.
e. Memberikan ilmu sesuai dengan tempat waktu kemampuan dan perkembangan jiwa.
f.
Memperbaiki akhlak dengan bijaksana.
g.
Membimbing sesuai dengan tujuan pendidikan.
h.
Memberikan bekal ilmu agama &umum.
i.
Mengajari hidup teratur.
j.
Ikhlas dan tawadhu’.
k.
Membiasakan diri untuk membaca.
4. Kurikulum
Pada
awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional. Kurikulum
pendidikan masih tradisional , yang berkisar pada al-Quran dan pengajian kitab,
yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku
disitu saja. Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman , sehingga tergerak hati Hamka dan
kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum
pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab[-kitab yang digunakan juga tidak
terpaku pada satu kitab saja. Sebagai rencana
pelajaran yang merupakan bentuk usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri
dari 4 kelompok, yaitu :
1.
Agama, yang mencakup :
a.
Tafsir Al Quran
b.
Hadits & Mushtkahah Hadits
c.
Fiqih dan Ushul fiqih
d.
Tauhid Islam
e.
Tarikh Tasyri’ Islamy
f.
Tauhid / Ilmu Kalam
g.
Akhlak dan tasawuf
2.
Bahasa, dengan kajian :
a. Bahasa Arab dengan
alat-alatnya ,yakni Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Mantiq (logika),
Insya’, Tarjamah, Muhawarah, Khithabah dan Khath.
b.
Bahasa Belanda
c.
Bahasa Inggris
3.
Pengetahuan Umum, meliputi :
a.
Berhitung / Aljabar
b.
Ilmu Ukur (Handasah)
c.
Ilmu Bumi (Geografi)
d.
Ilmu Alam
e.
Ilmu Hayat (Hewan & Tumbuh-tumbuhan)
f.
Sejarah umum dan tanah air
g.
Ilmu Falak
4.
Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
a.
Iilmu mengajar dan mendidik ( At Tarbiyah watta’lim)
b.
Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak
c.
Muqaranah Al Adyan ( Perbandingan Agama)
d.
Organisasi dan Administrasi Muhamadiyah
5. Sistem dan Metode Pembelajaran
Pertama Menurut Hamka metode
secara umum diantaranya:[26]
a.
Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini
bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan
persaudaraan.
b.
Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak
akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial.
c. Resitasi, memberikan tugas
seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik
memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.
Adapun yang Kedua, metode Islami, di
antaranya:
a. Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan
mencegah berbua jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan
pergaulan hidup lebih sentosa.
b. Observasi, memberikan
penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar
peserta didik lebih mengenal Tuhannya.[27]
6. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi adalah menentukan tarap kemajuan suatu pekerjaan didalam
pendidikan Islam atau tahap akhir yang dilakukan dalam proses pendidikan, bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar uantuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan. Pandangan
Buya Hamka dalam evaluasi seperti para
tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni mengarah pada ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa
tugas, seperti yang terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini
merupakan evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan
secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu
yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syur(perasaan) sebagai
barometernya sehingga peserta didik itu mampu menjadi hamba Allah atau khalifah
fil-Ardh di muka bumi Allah ini.
D. Relevansi
Pendidikan Haji Abdul Malik Karim Amarullah Pada Era Global Saat ini
Pendidikan adalah bahagian dari pembelajaran kepada peserta didik (manusia)
dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan serta memperbaiki akhlak peserta
didik tersebut. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan
segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh dan terbaik
diantara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan
hanya sekedar berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia
memilki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki
potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi diri
pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis,
atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.
Kalau kita baca dalam
penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dijelaskan
bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan
perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Dan dijelaskan pula bahwa pendidikan
keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah,dan tinggi yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama.[28]
Hakikat pendidikan yang dikemukakan oleh Hamka sangat
dapat diterapkan di zaman sekarang ini, yakni pendidikan agama dan pendidikan
umum saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dari mulai tingkat Pendidikan
Dasar hingga ke tingkat Pendidikan Tinggi.
E.
F. Karya-Karya Haji Abdul Malik Karim Amarullah Tentang
Pendidikan
Sebagai salah seorang tokoh sekaligus ulama
yang terkenal, serta politisi, wartawan dan termasuk salah satu tokoh pembaharuan Islam, Hamka termasuk memiliki jadwal yang padat.
Walaupun demikian, aktivitas menulisnya terus berlanjut bahkan ia dikenal
sebagai tokoh intelektual muslim yang produktif. Yaitu dengan banyak
menelurkan karya tulis, yang sampai hari
ini tetap menjadi bahan bacaan dan pedoman, bahkan rujukan bagi penelitian
ilmiah lainnya.
Menurut sejarahnya Hamka telah menulis buku
sebanyak 113 buku, yang meliputi bidang agama, filsafat, dan sastra. Diantara
karya-karya yang di tulis oleh Hamka ada enam tulisannya yang berbentuk sastra.
Antara lain sebagai berikut:
1.
Margaretta Gauthier, (terjemahan dari karya Alexander Duma Jr), 123 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
cetakan yang ke tujuh tahun 1975.
2.
Kenang-kenangan Hidup, terbagi dalam empat
jilid buku, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke tiga, tahun 1975.
3.
Di Dalam Lembah Kehidupan, (Kumpulan Cerita Pendek), 203 halaman, Penertbit
Bulan Bintang, Jakarta, cetakan kesembilan, tahun 1976.
4.
Merantau ke Delli, 153 halaman, yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang, Jakarta, cetakan yang ketujuh 1977.
5.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, 223 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetaka ke tiga puluh dua, tahun 2010.
6.
Di Bawah Lindungan Ka’bah, 66 halaman,
Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke tiga puluh satu tahun 2010.
Sebagai bentuk
perwujudan produktifitasnya, maka di dalam tulisan ini penulis cantumkan
karya-karyanya dalam bentuk non sastra, sebagai berikut:
1.
Lembaga Budi, 126 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta,
cetakan ke sepuluh, tahun 2001
2.
Lembaga Hidup, 335 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta,
cetakan kedua Belas, tahun 2001
3.
Dari Perbendaharaan Lama, 171 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta,
cetakan ke tiga, tahun 1994 Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia, Penerbit Tintamas, Jakarta, tahun 1961.
4.
Filsafat Hidup, 303 halaman, Penerbit Djaya Murni, Jakarta, Cetakan
Ketujuh tahun 1962.
5.
Lembaga Hikamat, terdiri dari 155, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
Cetakan yang Keempat tahun 1966.
6.
Dari Lembah Cita-cita, sebanyak 155 halaman, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, Cetakan Keempat, tahun 1967.
7.
Antara Fakta dan Hayal “Tuanku Rao”, 363 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
Cetakan Pertama, tahun 1974.
8.
Tanya Jawab I, sebayak 98 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
Cetakan Kedua 1975.
9.
Tanya Jawab II, sebanyak 104 halaman, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, Cetakan Kedua tahun 1975.
10.
Bohong di Dunia, terdiri dari 100 halaman, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, Cetakan Ketiga, tahun 1975.
11.
Sejarah Umat Islam, terdiri dari empat jilid buku. Jilid pertama sebanyk
268 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kelima tahun 1975,
sedangkan jilid yang kedua sebanyak 278 halaman, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, Cetakan Keempat pada tahun 1975, jilid ke tiga sebanyak 340 halaman,
Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Ketiga, pada tahun 1975. Sementara
jilid yang keempat sebanyak 338 halaman, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
Cetakan Kedua, pada tahun 1976.
12.
Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, 243 halaman, Penerbit Nurul Islam, Jakarta,
Cetakan tahun 1980.
13.
Tasauf Modren, 246 halaman, Penerbit Yayasan Nurul Islam, Jakarta,
Cetakan Keenam 1981.
14.
Ayahku, sebanyak 361 halaman, Penerbit Ummida Jakarta, Cetakan Keempat, tahun
1982.
15.
Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan
Keberaniaan, Penerbit
Yayasan Idayu, Jakarta, tahun 1983.
16.
Tafsir Al-Azhar, sebanyak 30 juz, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta,
tahun 1984.
17.
Pelajaran Agama Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1984.
18.
Islam dan Adat Minangkabau, Penerbit Pustaka Panjima, Jakarta, tahun 1985.
19.
Renungan Tashauf, sebanyak 131 halaman, Penerbit Pustaka PanJjimas,
Jakarta, Cetakan Pertama, tahun 1985.
20.
Iman dan Amal Shaleh, terdiri dari 144 halaman, Penerbit Pustaka Panjimas,
Jakarta, Cetakan Ketiga, tahun 1986.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA) adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan memiliki visioner yang mampu meramal
masa depan.
Pemikirannya tidak hanya berkala di zamannya, namun masih sangat konstektual di
masa kini, produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan
rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa yang akan dating itu terbukti sampai saat ini pemikiran beliau masih dipakai dan dijadikan
rujukan oleh para Tokoh-tokoh atau cendekiawan khususnya ummat Muslim Indonesia
dan Mancanegara.
Menurut Beliau, dalam dunia
pendidikan tidak hanya
berorientasi pada hal-hal yang bersifat johiriyah
saja (jasmani). Pendekatan yang
demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani).
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi
fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya
yang lain secara serasi dan seimbang. Melalui integrasi kedua unsur potensi
tersebut, maka peserta didik Inshaallah
akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis dan fenomena alam
semesta ini. Yang pada hakikatnya pendidikan Islam menurut
Beliau merupakan serangkaian
upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan
kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk
B.
Saran
Akhirnya, untuk Allah SWT jualah semua pengabdian, hidup dan mati
kami. Semua ide dan gagasan baik yang ada dalam makalah ini adalah miliknya,
dan semua khilaf yang mungkin ada dalam makalah ini adalah milik kami sendiri,
dan kepada pembaca kami mohon kritik dan sarannya yang konstruktif, sekiranya
ada dalam makalah ini banyak salah dan janggal yang harus diperbaiki
dikesempatan berikutnya.
Wallahu A’lam Bisshawab
|
Al-Quran
Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Pendidikan Luar Sekolah,
(Surabaya: Usaha nasional)
Amarulloh.Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.(Tanpa Penerbit dan Tanpa
Tahun)
Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif,
(Jakarta : Gagas Media, 2011
Daliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali,
1983)
H.Rusdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. D. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983)
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982)
Zainuddin Roesmar, Tuntunan Dakwah Dalam Masyarakat Pluralistik
Persfektif Metode Dakwah Hamka, (Pekanbaru: Unri-Press, 2002)
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Kuala Lumpur: Pustaka
Antara, 1982)
Junus Amir Hamzah, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk Dalam Polemik, (Jakarta: Megabookstre,1963)
Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1985)
Muhammad Husein haekal, Hayed Muhammad, alih bahasa Ali
Audah, (Jakarta: Lintera Antar Nusa, 1993)
Ramayulis & Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia,2009)
Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat:
Quantum Teaching, 2005)
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), 2008
Ramdani Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Illahi, 2005)
Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
UU-RI
No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Pustaka
Nusantara, 2003)
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990)
[1]
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), h. 55, lihat juga, Zainuddin Roesmar, Tuntunan Dakwah Dalam Masyarakat Pluralistik
Persfektif Metode Dakwah Hamka, (Pekanbaru: Unri-Press, 2002), h.24
[2]H.Rusdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. D. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), h.2
[3]
Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h.33-34
[6]
Hamka, Op.cit,
h. 37.
[8]
Hamka, Lop.cit,
h. 56.
[10]
Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta :
Gagas Media, 2011), h.208
[11]
Hamka, Lop Cit,
h.57.
[13]
Hamka, Ibid, h.
292.
[14]Junus Amir Hamzah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Dalam Polemik,
(Jakarta: Megabookstre,1963), h.23
[16]
Daliar Noer, Administrasi
Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), h.150.
[17]
Rusdi Hamka, Op.cit,
h. 230.
[18]
Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), h. 230
[19]Ramdani Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Illahi, 2005), h.265
[20] QS.
Al-Tahrim : 6
[21] Muhammad
Husein haekal, Hayed Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Jakarta: Lintera
Antar Nusa, 1993, h. 189
[22] Abu Ahmad dan
Nur Uhbiyati, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya: Usaha nasional), h.
167
[23] Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia), 2008, h. 283
[24] Ramayulis & Syamsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching,
2005), h. 272-273
[27]
Syamsul Kurniawan dan
Erwin Makhrus, Op. Cit, h. 246
EmoticonEmoticon